Wednesday, February 29, 2012

SENJA YANG BELUM BERUJUNG SUKMA

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 5:00 PM

             Bermula senja yang kutawar dalam jam-jam melelahkan di pelataran rumput kampus biru. Kampus ini sungguh menaungi layaknya makna warna yang melangit itu. Kata orang biru itu tinggi. Ya. Ada pula sabda berujar bahwa dia mengarungi dalamnya samudera yang masih menjadi ketakutan-ketakutanku menyaksi gelombang. Petuah Ayah tentang rapuhku memang perlu kuangguki mesra ketika dia menjabarkan setiap butir-butir yang kadang membuatku tersenyum sendiri mengenangnya.
            Aku yang tak mengalihkan sedikit pun pandangku selain menunduk ke arah pemandangan sepatu yang sudah tak terhitung purnama menemani hari-hari dinginku. Senja ini sungguh membuatku benci menebar tatapan. Kilau-kilaunya tak kudapati selain lampu-lampu dari angkot butut yang harusnya dipensiunkan itu. Ah, meski begitu mereka selalu siap sedia mengantar langkah-langkah mulia menuntut ilmu. Aku mengilhami perkataan seorang teman bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Katanya itu perkataan dari seseorang yang paling berjasa dalam kehidupan seluruh umat. Entahlah. Ketika kutanya kapan dia bertemu dengan orang agung itu dia menjawab dengan kebingungan yang ku peroleh. Perkataan seorang yang raganya tak pernah dijumpai bahkan berabad terpisah. Namun, entah cinta yang berhulu dan berhilir dari mana tentang manusia terbaik itu.
            Sekali lagi aku terkadang hidup dengan filosofi yang menyuruh neuron-neuron mentransformasikan informasi kepada sang pusat saraf utama untuk mengangguk mesra (lagi). Pertanyaan-pertanyaan yang rasanya sudah menggelembung di otak lemahku ini. Mungkin iman saja yang jadi solusi yang tak kuelakkan keyakinannya. Sedetik aku mencari tanda tanya maka sepersekon waktu pula aku menemui jawabnya lewat sesuatu yang terkadang tak kuasa kuakui Maha Bijaksananya.
            Seorang guru pernah berkata kepadaku bahwa hidup ini pilihan. Menjadi orang baik pun tak lain adalah pilihan. Dan aku rasa-rasanya masih menjaga pepatah itu sebagai penyemangat saat setan tertawa indah melihat kemenangannya menundukkan segala mimpi-mimpi muliaku.
            Mungkin, senja benar-benar telah mengalahkan gerimis-gerimis yang mengantarkan pelangi. Aku pernah terlampau memujinya dengan segala syukur. Tapi aku juga tak mampu menarik ulur hatiku untuk mencintai senja yang meniupkan kumandang-kumandang sabda Tuhan yang kuselami maknanya dalam terpejam mata penghayatan. Tenanglah, gerimis akan tetap di tempat semula namun hanya kubagi sedikit tempatnya dengan si senja yang mulai membakar gelora jiwaku. Sekian surat kepada senja yang belum berujung pada sukma.


0 comments on "SENJA YANG BELUM BERUJUNG SUKMA"

Post a Comment


             Bermula senja yang kutawar dalam jam-jam melelahkan di pelataran rumput kampus biru. Kampus ini sungguh menaungi layaknya makna warna yang melangit itu. Kata orang biru itu tinggi. Ya. Ada pula sabda berujar bahwa dia mengarungi dalamnya samudera yang masih menjadi ketakutan-ketakutanku menyaksi gelombang. Petuah Ayah tentang rapuhku memang perlu kuangguki mesra ketika dia menjabarkan setiap butir-butir yang kadang membuatku tersenyum sendiri mengenangnya.
            Aku yang tak mengalihkan sedikit pun pandangku selain menunduk ke arah pemandangan sepatu yang sudah tak terhitung purnama menemani hari-hari dinginku. Senja ini sungguh membuatku benci menebar tatapan. Kilau-kilaunya tak kudapati selain lampu-lampu dari angkot butut yang harusnya dipensiunkan itu. Ah, meski begitu mereka selalu siap sedia mengantar langkah-langkah mulia menuntut ilmu. Aku mengilhami perkataan seorang teman bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Katanya itu perkataan dari seseorang yang paling berjasa dalam kehidupan seluruh umat. Entahlah. Ketika kutanya kapan dia bertemu dengan orang agung itu dia menjawab dengan kebingungan yang ku peroleh. Perkataan seorang yang raganya tak pernah dijumpai bahkan berabad terpisah. Namun, entah cinta yang berhulu dan berhilir dari mana tentang manusia terbaik itu.
            Sekali lagi aku terkadang hidup dengan filosofi yang menyuruh neuron-neuron mentransformasikan informasi kepada sang pusat saraf utama untuk mengangguk mesra (lagi). Pertanyaan-pertanyaan yang rasanya sudah menggelembung di otak lemahku ini. Mungkin iman saja yang jadi solusi yang tak kuelakkan keyakinannya. Sedetik aku mencari tanda tanya maka sepersekon waktu pula aku menemui jawabnya lewat sesuatu yang terkadang tak kuasa kuakui Maha Bijaksananya.
            Seorang guru pernah berkata kepadaku bahwa hidup ini pilihan. Menjadi orang baik pun tak lain adalah pilihan. Dan aku rasa-rasanya masih menjaga pepatah itu sebagai penyemangat saat setan tertawa indah melihat kemenangannya menundukkan segala mimpi-mimpi muliaku.
            Mungkin, senja benar-benar telah mengalahkan gerimis-gerimis yang mengantarkan pelangi. Aku pernah terlampau memujinya dengan segala syukur. Tapi aku juga tak mampu menarik ulur hatiku untuk mencintai senja yang meniupkan kumandang-kumandang sabda Tuhan yang kuselami maknanya dalam terpejam mata penghayatan. Tenanglah, gerimis akan tetap di tempat semula namun hanya kubagi sedikit tempatnya dengan si senja yang mulai membakar gelora jiwaku. Sekian surat kepada senja yang belum berujung pada sukma.


0 comments:

Post a Comment

 

Gerimis itu... Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal