Bermula senja yang kutawar dalam
jam-jam melelahkan di pelataran rumput kampus biru. Kampus ini sungguh menaungi
layaknya makna warna yang melangit itu. Kata orang biru itu tinggi. Ya. Ada
pula sabda berujar bahwa dia mengarungi dalamnya samudera yang masih menjadi
ketakutan-ketakutanku menyaksi gelombang. Petuah Ayah tentang rapuhku memang
perlu kuangguki mesra ketika dia menjabarkan setiap butir-butir yang kadang
membuatku tersenyum sendiri mengenangnya.
Aku yang tak mengalihkan sedikit pun
pandangku selain menunduk ke arah pemandangan sepatu yang sudah tak terhitung
purnama menemani hari-hari dinginku. Senja ini sungguh membuatku benci menebar
tatapan. Kilau-kilaunya tak kudapati selain lampu-lampu dari angkot butut yang
harusnya dipensiunkan itu. Ah, meski begitu mereka selalu siap sedia mengantar
langkah-langkah mulia menuntut ilmu. Aku mengilhami perkataan seorang teman
bahwa menuntut ilmu itu wajib hukumnya. Katanya itu perkataan dari seseorang
yang paling berjasa dalam kehidupan seluruh umat. Entahlah. Ketika kutanya
kapan dia bertemu dengan orang agung itu dia menjawab dengan kebingungan yang
ku peroleh. Perkataan seorang yang raganya tak pernah dijumpai bahkan berabad
terpisah. Namun, entah cinta yang berhulu dan berhilir dari mana tentang
manusia terbaik itu.
Sekali lagi aku terkadang hidup
dengan filosofi yang menyuruh neuron-neuron mentransformasikan informasi kepada
sang pusat saraf utama untuk mengangguk mesra (lagi). Pertanyaan-pertanyaan
yang rasanya sudah menggelembung di otak lemahku ini. Mungkin iman saja yang
jadi solusi yang tak kuelakkan keyakinannya. Sedetik aku mencari tanda tanya
maka sepersekon waktu pula aku menemui jawabnya lewat sesuatu yang terkadang
tak kuasa kuakui Maha Bijaksananya.
Seorang guru pernah berkata kepadaku
bahwa hidup ini pilihan. Menjadi orang baik pun tak lain adalah pilihan. Dan
aku rasa-rasanya masih menjaga pepatah itu sebagai penyemangat saat setan
tertawa indah melihat kemenangannya menundukkan segala mimpi-mimpi muliaku.
Mungkin, senja benar-benar telah
mengalahkan gerimis-gerimis yang mengantarkan pelangi. Aku pernah terlampau
memujinya dengan segala syukur. Tapi aku juga tak mampu menarik ulur hatiku untuk
mencintai senja yang meniupkan kumandang-kumandang sabda Tuhan yang kuselami
maknanya dalam terpejam mata penghayatan. Tenanglah, gerimis akan tetap di
tempat semula namun hanya kubagi sedikit tempatnya dengan si senja yang mulai
membakar gelora jiwaku. Sekian surat kepada senja yang belum berujung pada
sukma.
0 comments on "SENJA YANG BELUM BERUJUNG SUKMA"
Post a Comment