Iffah, begitulah yang kudengar dari
percakapan beberapa siswa sewaktu istirahat MOS di SMA Nusantara. Tempat baruku
meneruskan jenjang pendidikan setelah puas tiga tahun mengenakan seragam
putih-biru. Namanya memang seindah akhlaknya. Sejak pertama aku menatap kedua
mata indahnya rasanya mataku berkata iri dengan lekuk mata hitam bukti
sujudnya. Sabtu cerah yang penuh hikmah menurutku. Jalan cinta-Nya membimbingku
mengenal sosok panutan muslimah masa kini. Dia tak malu menutupkan dadanya
dengan seuntai kain terjulur sampai menuju batas perut atasnya. Kutaksir
begitulah kira-kira jilbab yang mestinya kupakai saat ini. Tapi, entahlah nafsu
duniawiku belum sezuhud kandidat putri sekolah itu.
Jangan pernah menganggap aku lesbian
atau penyuka sesama jenis. Sungguh aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku
akan keshalehan teman baruku ini. Sekali kali kuucap namanya dalam percakapanku
bersama Mama di siang itu.
“Namanya Iffah, kayaknya dia bakal
jadi inceran teman-teman satu sekolah deh Ma! Matanya, senyumnya,
dan keshalehannya itu loh yang buat Kia iri sebagai sesama muslimah.”
Bibirku terus mengeluarkan sejuta pujian sambil berdiri memandang langit yang
terlihat mendung siang itu.
“Iffah? Nama yang bermakna bagus, Sayang.”
Jawab Mama memandang kekosongan mataku yang tak fokus dengan cuaca hari ini.
“Iya yah Ma? Emang apa
arti Iffah Ma?” Tanganku menggapai secangkir teh hangat dari Mama.
“Iffah itu artinya orang yang selalu
berbuat kebaikan. Tapi Adzkia Annisa Putri Arifin lebih anggun tuh.” Mama
menghiburku lalu bergegas mematikan api kompor di dapur.
“Mama, selalu aja gitu. Iya deh
Kia harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah dikasih sama Allah. Nggak
bakal lupa deh nasehatnya Mama.” Kupasang wajah sedikit cemberut
tanda manjaku sambil menyeruput tehku.
“Pinterrrr yah anak Mama!” Mama
mencubit pipiku yang sering dijuluki teman-temanku Bakpau.
“Ihh Mama!!!”
Begitulah keakrabanku dengan Ibunda
tercinta. Banyak teman-teman yang heran kalau lagi ke rumah mendapatiku sedang
bercanda dengan Mama. Seperti bersahabat. Itulah ibuku yang selalu berusaha
memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, orang tua, bahkan pacar. Wajar saja
kalau aku tak pernah enggan curhat apapun dengan Mama. Bahkan masalah
teman lelaki yang biasanya isin -malu dalam bahasa jawa- untuk diceritakan
bagi sebagian remaja.
Tapi hukum itu tidak berlaku dalam
kehidupanku. Mama adalah psikolog keluarga yang paling mantap menurutku,
walaupun beliau tidak pernah mendapatkan gelar sarjana psikologi dari
universitas manapun. Aku sama sekali tidak risih curhat tentang aksi nekad
Rafa, vokalis band sekolah yang digandrungi cewek-cewek satu
sekolah saat menyanyikan lagu Flanella Bila Engkau di depan kelas dengan
setangkai bunga Lili kesukaanku sehari sebelum perpisahan SMP, dan apa
reaksinya?
Mama malah ketawa-ketawa sambil ngeledek
kalau anaknya udah memasuki zona terindah dalam kehidupan remaja. Dicinta dan
mencintai makhluk Allah yang fitrah bagi manusia. Walaupun, Mama tetap menyiratkan
bahwa tak ada pacaran dalam islam. Kalau suka it’s okey, tapi pacaran no
way Kia!
Senin yang
cukup sejuk menuju sekolah. Tas ranselku sudah tergeletak di sebelah kanan
dekat pintu Avanza Mama. Mataku terus mencerna beberapa kata yang
tertulis di seberang lensa kacamataku. Sementara jemari terus menekan tuts-tuts
benda berukuran 7 x 3 cm itu. Warnanya yang cukup pekat dan berdesain garis-garis
banyak menimbulkan persepsi kalo kamus kecil itu Al-Qur’an. Bukan. Benda itu
adalah sebuah kamus saku elektronik yang diberikan Papa bulan kemarin karena kelulusanku
yang cukup membanggakan.
Pukul 06.40
WIB. Seperti biasa, itulah jadwalku tiba di sekolah. Maklum saja sekolah baruku
menetapkan 06.50 WIB sebagai batas akhir pagar setinggi 2 meteran itu ditutup.
Dan kalau sampai terlambat, ada ‘gift’ khusus dari guru piket. Aku
menangkap satu pemandangan itu lagi. Lagi-lagi Iffah. Ah, ingin sekali aku
menghampirinya dan bersahabat dengan akhwat yang satu ini.
Sebuah pohon
rindang sepertinya merindukan tawa dan canda manusia. Utamanya remaja yang
biasanya tersenyum bangga bercerita dengan temannya tentang jumlah sms
dan incoming call yang masuk tadi malam dilayar hp mereka. Atau mungkin
sekedar bercerita tentang sosok Ketua Rohis yang baru saja melewati koridor
sekolah. Jilbabku menjuntai lemas hingga ke bawah dada. Ini awal
keistiqomahanku menuju takwa. Baru saja ingin mendaratkan tubuhku di bangku
yang diletakkan dibawah rindangnya beringin sekolah, bel berbunyi empat kali.
Tandanya kumpul ke lapangan utama.
Sekejap, aku
sudah menempati sebuah kursi stainless stell dengan papan kayu dibagian depan
sejurus dengan meja guru yang ditata di tengah-tengah ruangan kelas. Sebuah
kursi di sebelah kananku masih kosong. Mungkin itu tempat bagi siswa yang terakhir
masuk karena hanya ada satu kursi yang tersisa.
Mataku mulai melirik kanan-kiri mencoba mencari seseorang yang mungkin saja ku
kenal. Bermodal senyum dan dua lesung pipi yang menjadi kebanggaan tersendiri
bagiku aku mulai beramah-tamah dengan sebagian anak-anak lain. Seusai
mengenalkan diri dengan beberapa teman aku kembali menuju kursiku lagi. Jam
tangan Adidas biruku sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB. Lima menit lagi
akan ada guru yang memasuki ruangan dan bertindak sebagai wali kelas kami
seperti yang diberitahukan dalam apel tadi.
Terdengar
sebuah ketokan pintu dari sudut kiri ruangan. Semua anak-anak sibuk mengatur
diri menuju tempat duduknya masing-masing. Semua berpikir seorang guru yang
memasuki kelas awal pagi itu. Tapi, ternyata bukan wali kelas yang mengetok
pintu. Sosok itu lagi. Subhanallah, aku sekelas dengan Nur Iffah Aathifah. Yah,
itulah yang kutangkap dari bed nama yang tertempel disudut kanan atas
seragamnya. Sebagian teman-teman yang terlahir dengan riwayat adam seakan
enggan menutup bibirnya untuk membalas salam dari Iffah.
‘Wa’alaikumsalam’ menyebar di seluruh
ruangan dengan posisi mata tak berkedip dan mulut menganga. Andai saja ada seekor
serangga seperti nyamuk atau lalat berkeliaran, mungkin mereka akan longgar
sekali masuk ke rongga mulut para lelaki itu. Suasana yang lucu. Kahlil and
the gank menawarkan kursi mereka untuk ditempati oleh Iffah. Tapi Iffah
lebih tertarik melihat kursi kosong di sebelah kananku. Good job. Dia akan
duduk disebelahku. Awal yang baik untuk mengenalkan diri pikirku.
“Kia, kamuuuu??” Kusodorkan tangan
kananku dan mataku sengaja kubuat seperti mencari bed namanya.
“Iffah, Nice to meet you! Mudah-mudahan
kita bisa jadi teman!” Jawabnya sambil menampakkan bed namanya dan dihiasi senyum.
“Nice to meet you too. Insya’
Allah!” Bisikku lalu membuang muka menuju Pak Fadlan, wali kelas kami yang baru
saja datang.
Seminggu menjadi teman Iffah cukup menyenangkan. Dia
sangat pemalu. Apalagi dengan kaum adam. Dia selalu kabur dan wajahnya memerah
jika ada anak cowok di sekolah yang menggodanya atau sekedar menyapanya dengan
kata “Assalamu’alaikum cantik!”. Aku yakin kalau saja Rasti, temanku yang cukup
centil berada di posisi Iffah, dia bakalan kelepek-kelepek dan meladeni ucapan
manis para lelaki. Rasa malu Iffah memang menjadi daya tarik baginya. Lugu dan
bikin penasaran, itulah yang terlontar dari mulut Ferdy saat senyumnya
ditinggal pergi oleh sang putri sekolah.
Idaman. Itulah sosok Iffah akhir-akhir
ini. Dan aku yakin pasti banyak atensi tertuju kepadanya saat acara ulang tahun
sekolah bulan depan. Tapi, apa yang terjadi dengan jantungku sekarang. Detaknya
mulai merangkak menuju jarak terjauh dengan jarak tempuh yang tak tentu. Mataku
yang semula menatap sebuah keindahan mulai kutundukkan dan kupalingkan wajahku
dari sosok itu. Duh Gusti, jagalah hatiku. Ingin kulangkahkan kakiku sejauh
mungkin dari tempat ini, tapi berat sekali rasanya. Terlambat. Tiba-tiba.
“Maaf, kamu anak X 2?” Tanya seorang
berpostur tinggi dengan beberapa lembaran kertas di tangannya.
“I..yy...a K..aa..k.” Aku harus sedikit
mendongak untuk menatap wajahnya sebagai bentuk kesopananku menjawab
pertanyaannya.
“Titip ini yah. Brosur dari
Rohis, kalau ada waktu silahkan gabung.” Tangan kanannya menjulurkan
sekitar lima lembaran brosur berwarna biru itu.
“Syukran Kak.” Aku mencoba
menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak Rohis.
“Afwan.” Jawabnya singkat dan
menghilang.
Aduh, penyakit
lamaku kumat lagi. Aku lupa menanyakan namanya. Ada sedikit kekesalan dalam
hati, tapi untuk apa juga aku tahu namanya. Biar kamu bisa kenalan dan
berbagi rasa fitrah dengannya, jawab setan di sebelah kiriku. Tidak Kia! ingat
dia Adam! belum saatnya, jawab malaikat disebelah kananku. Forget it.
Terserah dosa atau fitrah, aku sedikit menyimpan rekaman senyum simpulnya
ketika berbalik arah meninggalkan pertemuan kami di depan kelasku tadi. Ada satu
senyum unforgettable lagi selain milik Iffah. Astaghfirullah, batinku
lalu bergegas menyebarkan brosur yang baru kudapatkan tadi.
Sepertinya
waktu cepat sekali beranjak, tiga hari lagi acara ulang tahun sekolah akan
digelar. Kebetulan aku mendapat tugas yang cukup membuatku gugup. Kak Danva,
Ketua OSIS SMA Nusantara menawariku untuk menjadi Master of Ceremonial
acara hiburan. Aku bangga sekali, apalagi sewaktu aku tahu kalau ternyata Kak
Danva adalah kakak rohis yang sempat menggetarkan hatiku. Gara-gara tugas MC,
mau tidak mau aku selalu bertemu dengannya. Sedikit tersimpan kekaguman dengan
sosok adam ini. Seorang pemimpin yang tak melupakan agamanya. Aku kira semua
ketua OSIS bakal memilih ekskul yang dianggap keren tapi bersifat
duniawi seperti band, atau basket maybe. Tapi, itu tidak berlaku
bagi Kak Danva. Subhanallah, sungguh ini dosa terindah yang sulit untuk kuhapus
dari memoriku.
Sebuah gedung
berwarna hijau segar menyambut mata empatku. Tegak, kokoh, dan mulai padat
dengan beberapa alas kaki di teras keramik putihnya. Sepatu hitam sportyku
segera mendarat tersusun rapi mengikuti jalur indahnya. Perlahan kaki mulai
melangkah menuju sebuah pintu dengan dua buah lengan. Sesaat, ada sebuah senyum
terlihat dari jarak tak terlalu jauh. Dan, bahunya dan bahuku menyatu diiringi
sapaan khas yang sudah mulai akrab dengan kedua pipiku. Cipika-cipiki.
Sebuah salam yang sering dilakukan anak-anak rohis sesama jenis. Akan jadi
fatal jika kejadiannya berbalik layaknya pemandangan yang sering ku lihat di
taman setiap sore menuju rumahku. Perempuan dan laki-laki menyatu dan melakukan
hal yang sama seperti yang kulakukan sekarang dengan Mbak Sarah, seniorku di
ekskul Rohis.
Tapi, aku tak
melihat sahabatku di tempat itu. Memang seminggu terakhir ini aku jarang
bertemu dengannya selain di ruangan kelas. Aku cukup senang dengan perubahan
sifatnya sekarang. Perlahan, Iffah sudah mudah akrab dengan makhluk yang
bernama cowok. At least, Iffah gak pernah kabur lagi ketika
disapa oleh Ferdy dan kawan-kawan. Adaptasi yang diajarkan dari Rismi sepertinya
sukses. Mungkin juga dia termotivasi dengan gelar yang disandangnya sekarang.
Putri Sekolah. Bersikap seramah mungkin adalah kewajibannya setelah mendapatkan
amanah itu. Tapi aku merasa ada yang hilang dari Iffah. Entahlah.
Setelah berbasa-basi dengan Mbak Sarah,
aku langsung meletakkan tas sandangku di lantai mushola. Aku melihat lagi sang
penggetar hati. Ah, cepat kubuang jauh-jauh senyum kagumku. Takut fitnah.
Badanku kuputar hingga 90o menuju tempat wudhu. 14.20 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi
sebelum kajian dimulai. Tapi, mataku terus mencari Iffah, apa dia tak datang
lagi seperti minggu lalu. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku. Sebuah mushaf pink
tergeletak di atas tasku. Mirip punya seseorang, tapi aduh penyakitku kumat
lagi. Aku lupa punya siapa mushaf itu. Mushaf itu bukan punyaku tapi mengapa
ada di atas tasku. Lebih baik kuletakkan di tempat penyusunan Al-Qur’an di lemari
dekat tempat Imam shalat pikirku. Aku tak ragu menuju shaf lelaki karena Kak
Danva tidak duduk di tempat duduknya sewaktu aku datang tadi. Ada sebuah
jendela di sebelah tempat Imam shalat yang berhadapan dengan bagian belakang tempat
wudhu.
Mataku
menangkap sesuatu yang menggetarkan hati. Bukan, ini bukan getar hatiku yang
mengagumi atas keteduhan wajah Kak Danva atau senyum Iffah. Lebih dari itu,
hatiku rasanya mulai berkecamuk dan memaki telah membiarkan mataku mencuri
pandang dari balik jendela. Ini benar-benar dosa bagiku. Tapi, tidak lagi dosa
terindah. Aku menyaksikan dua orang anak manusia sedang bercanda gurau dengan
tangan yang mulai jahil menyentuh tubuh satu sama lain. Entah sengaja atau
tidak disengaja. Aku tak peduli. Mereka panutanku, penggetar hatiku, awal
keistiqomahanku. Sangat mendendam telah mengagungkan mereka selama ini. Cepat
kupalingkan wajahku menjauhi perih ini. Sesal tak ada bendung dalam dadaku.
Sabtu, 17 Juli 2006
Aku kecewa dengan kalian, Iffah dan Danva. Sosok yang
kusaluti atas keistiqomahan dalam beragama. Ya Allah, aku menyayangi mereka
karena-Mu. Maaf atas segala lancangnya hati membawa nama-Mu mencintai mereka
yang mengecewakanku. Hatiku menangis tertahan. Bukan cemburu atas Kak Danva
yang dekat dengan Iffah. Demi Allah bukan karena itu. Aku lebih sakit atas
pengkhiatan sikap yang selama ini tercipta. Teduhnya wajah, sucinya pandangan,
dan bersihnya hati dari cinta semu tak kulihat lagi dari kedua sosok itu. Saat
ini, ku coret mereka dalam list penggetar jiwaku. Cukup berteman dan tidak akan
lagi mengagungkan mereka.
Kututup diary
sewaktu awal masuk SMA dulu. Ada senyum malu diujung bibirku setelah
membacakannya dihadapan dua orang di hadapanku. Mereka hanya tersenyum dan
salah satu dari mereka memeluk erat dan mengeluarkan tawanya. Sementara satu
orang melihatku dengan senyuman lalu menunduk lagi.
“Makasih atas cintamu, Ukhti” Tangis
Iffah perlahan melepas dekapannya.
“Iya, maaf juga sudah su’uzzon dengan kalian
berdua waktu itu.” Ujarku sambil mengurai air mata yang sudah terlanjur
mengalir di pipi.
Iffah dan
Danva kembali lagi ke kehidupanku. Bahkan dua kakak-beradik ini lebih akrab
denganku. Yah, Mereka melakukan kejadian itu karena mereka muhrim. Bukan
seperti yang kukira sebelumnya. Sebuah kejadian lucu dan memalukan untuk diriku
sendiri. Aku terlalu sensitif dan emosian. Memang, Iffah menyembunyikan ini dariku
dan teman-teman yang lain. Sekali lagi ini gara-gara sifat pemalunya. Aku masih
malu atas sikapku waktu itu. Terlebih dengan Danva. Aku telah menzhaliminya
dengan menjauhinya tanpa ada penjelasan tentang sikapku. Tapi, sepertinya
hatinya begitu tegar menanti penjelasanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui
tentang rahasia indah ini. Rahasia tentang puisi kekaguman dari Kak Danva yang
diselipkan di Al-Qur’an pink milik Iffah yang sengaja diletakkan di atas tasku,
tapi sayangnya aku tak sempat membacanya setelah menghindar sejauh mungkin dari
mereka berdua. Rasa kagumku dibalas lebih indah oleh Kak Danva, tapi aku
sendiri yang menghalanginya masuk ke tempat terindah setiap insan. Kini, senja langit
kalbuku telah berganti dengan sebuah mentari indah. Iffah, calon adik iparku.