Friday, March 23, 2012

SENJA LANGIT KALBU

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 11:23 PM 0 comments



Iffah, begitulah yang kudengar dari percakapan beberapa siswa sewaktu istirahat MOS di SMA Nusantara. Tempat baruku meneruskan jenjang pendidikan setelah puas tiga tahun mengenakan seragam putih-biru. Namanya memang seindah akhlaknya. Sejak pertama aku menatap kedua mata indahnya rasanya mataku berkata iri dengan lekuk mata hitam bukti sujudnya. Sabtu cerah yang penuh hikmah menurutku. Jalan cinta-Nya membimbingku mengenal sosok panutan muslimah masa kini. Dia tak malu menutupkan dadanya dengan seuntai kain terjulur sampai menuju batas perut atasnya. Kutaksir begitulah kira-kira jilbab yang mestinya kupakai saat ini. Tapi, entahlah nafsu duniawiku belum sezuhud kandidat putri sekolah itu.
Jangan pernah menganggap aku lesbian atau penyuka sesama jenis. Sungguh aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku akan keshalehan teman baruku ini. Sekali kali kuucap namanya dalam percakapanku bersama Mama di siang itu.
“Namanya Iffah, kayaknya dia bakal jadi inceran teman-teman satu sekolah deh Ma! Matanya, senyumnya, dan keshalehannya itu loh yang buat Kia iri sebagai sesama muslimah.” Bibirku terus mengeluarkan sejuta pujian sambil berdiri memandang langit yang terlihat mendung siang itu.
“Iffah? Nama yang bermakna bagus, Sayang.” Jawab Mama memandang kekosongan mataku yang tak fokus dengan cuaca hari ini.
“Iya yah Ma? Emang apa arti Iffah Ma?” Tanganku menggapai secangkir teh hangat dari Mama.
“Iffah itu artinya orang yang selalu berbuat kebaikan. Tapi Adzkia Annisa Putri Arifin lebih anggun tuh.” Mama menghiburku lalu bergegas mematikan api kompor di dapur.
“Mama, selalu aja gitu. Iya deh Kia harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah dikasih sama Allah. Nggak bakal lupa deh nasehatnya Mama.” Kupasang wajah sedikit cemberut tanda manjaku sambil menyeruput tehku.
Pinterrrr yah anak Mama!” Mama mencubit pipiku yang sering dijuluki teman-temanku Bakpau.
Ihh Mama!!!”

Begitulah keakrabanku dengan Ibunda tercinta. Banyak teman-teman yang heran kalau lagi ke rumah mendapatiku sedang bercanda dengan Mama. Seperti bersahabat. Itulah ibuku yang selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, orang tua, bahkan pacar. Wajar saja kalau aku tak pernah enggan curhat apapun dengan Mama. Bahkan masalah teman lelaki yang biasanya isin -malu dalam bahasa jawa- untuk diceritakan bagi sebagian remaja.
Tapi hukum itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Mama adalah psikolog keluarga yang paling mantap menurutku, walaupun beliau tidak pernah mendapatkan gelar sarjana psikologi dari universitas manapun. Aku sama sekali tidak risih curhat tentang aksi nekad Rafa, vokalis band sekolah yang digandrungi cewek-cewek satu sekolah saat menyanyikan lagu Flanella Bila Engkau di depan kelas dengan setangkai bunga Lili kesukaanku sehari sebelum perpisahan SMP, dan apa reaksinya?
Mama malah ketawa-ketawa sambil ngeledek kalau anaknya udah memasuki zona terindah dalam kehidupan remaja. Dicinta dan mencintai makhluk Allah yang fitrah bagi manusia. Walaupun, Mama tetap menyiratkan bahwa tak ada pacaran dalam islam. Kalau suka it’s okey, tapi pacaran no way Kia!

      Senin yang cukup sejuk menuju sekolah. Tas ranselku sudah tergeletak di sebelah kanan dekat pintu Avanza Mama. Mataku terus mencerna beberapa kata yang tertulis di seberang lensa kacamataku. Sementara jemari terus menekan tuts-tuts benda berukuran 7 x 3 cm itu. Warnanya yang cukup pekat dan berdesain garis-garis banyak menimbulkan persepsi kalo kamus kecil itu Al-Qur’an. Bukan. Benda itu adalah sebuah kamus saku elektronik yang diberikan Papa bulan kemarin karena kelulusanku yang cukup membanggakan.
      Pukul 06.40 WIB. Seperti biasa, itulah jadwalku tiba di sekolah. Maklum saja sekolah baruku menetapkan 06.50 WIB sebagai batas akhir pagar setinggi 2 meteran itu ditutup. Dan kalau sampai terlambat, ada ‘gift’ khusus dari guru piket. Aku menangkap satu pemandangan itu lagi. Lagi-lagi Iffah. Ah, ingin sekali aku menghampirinya dan bersahabat dengan akhwat yang satu ini.
      Sebuah pohon rindang sepertinya merindukan tawa dan canda manusia. Utamanya remaja yang biasanya tersenyum bangga bercerita dengan temannya tentang jumlah sms dan incoming call yang masuk tadi malam dilayar hp mereka. Atau mungkin sekedar bercerita tentang sosok Ketua Rohis yang baru saja melewati koridor sekolah. Jilbabku menjuntai lemas hingga ke bawah dada. Ini awal keistiqomahanku menuju takwa. Baru saja ingin mendaratkan tubuhku di bangku yang diletakkan dibawah rindangnya beringin sekolah, bel berbunyi empat kali. Tandanya kumpul ke lapangan utama.

      Sekejap, aku sudah menempati sebuah kursi stainless stell dengan papan kayu dibagian depan sejurus dengan meja guru yang ditata di tengah-tengah ruangan kelas. Sebuah kursi di sebelah kananku masih kosong. Mungkin itu tempat bagi siswa yang terakhir masuk karena hanya ada satu kursi yang tersisa.
Mataku mulai melirik kanan-kiri  mencoba mencari seseorang yang mungkin saja ku kenal. Bermodal senyum dan dua lesung pipi yang menjadi kebanggaan tersendiri bagiku aku mulai beramah-tamah dengan sebagian anak-anak lain. Seusai mengenalkan diri dengan beberapa teman aku kembali menuju kursiku lagi. Jam tangan Adidas biruku sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB. Lima menit lagi akan ada guru yang memasuki ruangan dan bertindak sebagai wali kelas kami seperti yang diberitahukan dalam apel tadi.

      Terdengar sebuah ketokan pintu dari sudut kiri ruangan. Semua anak-anak sibuk mengatur diri menuju tempat duduknya masing-masing. Semua berpikir seorang guru yang memasuki kelas awal pagi itu. Tapi, ternyata bukan wali kelas yang mengetok pintu. Sosok itu lagi. Subhanallah, aku sekelas dengan Nur Iffah Aathifah. Yah, itulah yang kutangkap dari bed nama yang tertempel disudut kanan atas seragamnya. Sebagian teman-teman yang terlahir dengan riwayat adam seakan enggan menutup bibirnya untuk membalas salam dari Iffah.
‘Wa’alaikumsalam’ menyebar di seluruh ruangan dengan posisi mata tak berkedip dan mulut menganga. Andai saja ada seekor serangga seperti nyamuk atau lalat berkeliaran, mungkin mereka akan longgar sekali masuk ke rongga mulut para lelaki itu. Suasana yang lucu. Kahlil and the gank menawarkan kursi mereka untuk ditempati oleh Iffah. Tapi Iffah lebih tertarik melihat kursi kosong di sebelah kananku. Good job. Dia akan duduk disebelahku. Awal yang baik untuk mengenalkan diri pikirku.
“Kia, kamuuuu??” Kusodorkan tangan kananku dan mataku sengaja kubuat seperti mencari bed namanya.
“Iffah, Nice to meet you! Mudah-mudahan kita bisa jadi teman!” Jawabnya sambil menampakkan bed namanya dan dihiasi senyum.
Nice to meet you too. Insya’ Allah!” Bisikku lalu membuang muka menuju Pak Fadlan, wali kelas kami yang baru saja datang.

Seminggu  menjadi teman Iffah cukup menyenangkan. Dia sangat pemalu. Apalagi dengan kaum adam. Dia selalu kabur dan wajahnya memerah jika ada anak cowok di sekolah yang menggodanya atau sekedar menyapanya dengan kata “Assalamu’alaikum cantik!”. Aku yakin kalau saja Rasti, temanku yang cukup centil berada di posisi Iffah, dia bakalan kelepek-kelepek dan meladeni ucapan manis para lelaki. Rasa malu Iffah memang menjadi daya tarik baginya. Lugu dan bikin penasaran, itulah yang terlontar dari mulut Ferdy saat senyumnya ditinggal pergi oleh sang putri sekolah.
Idaman. Itulah sosok Iffah akhir-akhir ini. Dan aku yakin pasti banyak atensi tertuju kepadanya saat acara ulang tahun sekolah bulan depan. Tapi, apa yang terjadi dengan jantungku sekarang. Detaknya mulai merangkak menuju jarak terjauh dengan jarak tempuh yang tak tentu. Mataku yang semula menatap sebuah keindahan mulai kutundukkan dan kupalingkan wajahku dari sosok itu. Duh Gusti, jagalah hatiku. Ingin kulangkahkan kakiku sejauh mungkin dari tempat ini, tapi berat sekali rasanya. Terlambat. Tiba-tiba.
“Maaf, kamu anak X 2?” Tanya seorang berpostur tinggi dengan beberapa lembaran kertas di tangannya.
“I..yy...a K..aa..k.” Aku harus sedikit mendongak untuk menatap wajahnya sebagai bentuk kesopananku menjawab pertanyaannya.
“Titip ini yah. Brosur dari Rohis, kalau ada waktu silahkan gabung.” Tangan kanannya menjulurkan sekitar lima lembaran brosur berwarna biru itu.
Syukran Kak.” Aku mencoba menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak Rohis.
Afwan.” Jawabnya singkat dan menghilang.
      Aduh, penyakit lamaku kumat lagi. Aku lupa menanyakan namanya. Ada sedikit kekesalan dalam hati, tapi untuk apa juga aku tahu namanya. Biar kamu bisa kenalan dan berbagi rasa fitrah dengannya, jawab setan di sebelah kiriku. Tidak Kia! ingat dia Adam! belum saatnya, jawab malaikat disebelah kananku. Forget it. Terserah dosa atau fitrah, aku sedikit menyimpan rekaman senyum simpulnya ketika berbalik arah meninggalkan pertemuan kami di depan kelasku tadi. Ada satu senyum unforgettable lagi selain milik Iffah. Astaghfirullah, batinku lalu bergegas menyebarkan brosur yang baru kudapatkan tadi.

      Sepertinya waktu cepat sekali beranjak, tiga hari lagi acara ulang tahun sekolah akan digelar. Kebetulan aku mendapat tugas yang cukup membuatku gugup. Kak Danva, Ketua OSIS SMA Nusantara menawariku untuk menjadi Master of Ceremonial acara hiburan. Aku bangga sekali, apalagi sewaktu aku tahu kalau ternyata Kak Danva adalah kakak rohis yang sempat menggetarkan hatiku. Gara-gara tugas MC, mau tidak mau aku selalu bertemu dengannya. Sedikit tersimpan kekaguman dengan sosok adam ini. Seorang pemimpin yang tak melupakan agamanya. Aku kira semua ketua OSIS bakal memilih ekskul yang dianggap keren tapi bersifat duniawi seperti band, atau basket maybe. Tapi, itu tidak berlaku bagi Kak Danva. Subhanallah, sungguh ini dosa terindah yang sulit untuk kuhapus dari memoriku.
      Sebuah gedung berwarna hijau segar menyambut mata empatku. Tegak, kokoh, dan mulai padat dengan beberapa alas kaki di teras keramik putihnya. Sepatu hitam sportyku segera mendarat tersusun rapi mengikuti jalur indahnya. Perlahan kaki mulai melangkah menuju sebuah pintu dengan dua buah lengan. Sesaat, ada sebuah senyum terlihat dari jarak tak terlalu jauh. Dan, bahunya dan bahuku menyatu diiringi sapaan khas yang sudah mulai akrab dengan kedua pipiku. Cipika-cipiki. Sebuah salam yang sering dilakukan anak-anak rohis sesama jenis. Akan jadi fatal jika kejadiannya berbalik layaknya pemandangan yang sering ku lihat di taman setiap sore menuju rumahku. Perempuan dan laki-laki menyatu dan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan sekarang dengan Mbak Sarah, seniorku di ekskul Rohis.
      Tapi, aku tak melihat sahabatku di tempat itu. Memang seminggu terakhir ini aku jarang bertemu dengannya selain di ruangan kelas. Aku cukup senang dengan perubahan sifatnya sekarang. Perlahan, Iffah sudah mudah akrab dengan makhluk yang bernama cowok. At least, Iffah gak pernah kabur lagi ketika disapa oleh Ferdy dan kawan-kawan. Adaptasi yang diajarkan dari Rismi sepertinya sukses. Mungkin juga dia termotivasi dengan gelar yang disandangnya sekarang. Putri Sekolah. Bersikap seramah mungkin adalah kewajibannya setelah mendapatkan amanah itu. Tapi aku merasa ada yang hilang dari Iffah. Entahlah.
Setelah berbasa-basi dengan Mbak Sarah, aku langsung meletakkan tas sandangku di lantai mushola. Aku melihat lagi sang penggetar hati. Ah, cepat kubuang jauh-jauh senyum kagumku. Takut fitnah. Badanku kuputar hingga 90o menuju tempat wudhu.  14.20 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kajian dimulai. Tapi, mataku terus mencari Iffah, apa dia tak datang lagi seperti minggu lalu. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku. Sebuah mushaf pink tergeletak di atas tasku. Mirip punya seseorang, tapi aduh penyakitku kumat lagi. Aku lupa punya siapa mushaf itu. Mushaf itu bukan punyaku tapi mengapa ada di atas tasku. Lebih baik kuletakkan di tempat penyusunan Al-Qur’an di lemari dekat tempat Imam shalat pikirku. Aku tak ragu menuju shaf lelaki karena Kak Danva tidak duduk di tempat duduknya sewaktu aku datang tadi. Ada sebuah jendela di sebelah tempat Imam shalat yang berhadapan dengan bagian belakang tempat wudhu.
      Mataku menangkap sesuatu yang menggetarkan hati. Bukan, ini bukan getar hatiku yang mengagumi atas keteduhan wajah Kak Danva atau senyum Iffah. Lebih dari itu, hatiku rasanya mulai berkecamuk dan memaki telah membiarkan mataku mencuri pandang dari balik jendela. Ini benar-benar dosa bagiku. Tapi, tidak lagi dosa terindah. Aku menyaksikan dua orang anak manusia sedang bercanda gurau dengan tangan yang mulai jahil menyentuh tubuh satu sama lain. Entah sengaja atau tidak disengaja. Aku tak peduli. Mereka panutanku, penggetar hatiku, awal keistiqomahanku. Sangat mendendam telah mengagungkan mereka selama ini. Cepat kupalingkan wajahku menjauhi perih ini. Sesal tak ada bendung dalam dadaku.

Sabtu, 17 Juli 2006
Aku kecewa dengan kalian, Iffah dan Danva. Sosok yang kusaluti atas keistiqomahan dalam beragama. Ya Allah, aku menyayangi mereka karena-Mu. Maaf atas segala lancangnya hati membawa nama-Mu mencintai mereka yang mengecewakanku. Hatiku menangis tertahan. Bukan cemburu atas Kak Danva yang dekat dengan Iffah. Demi Allah bukan karena itu. Aku lebih sakit atas pengkhiatan sikap yang selama ini tercipta. Teduhnya wajah, sucinya pandangan, dan bersihnya hati dari cinta semu tak kulihat lagi dari kedua sosok itu. Saat ini, ku coret mereka dalam list penggetar jiwaku. Cukup berteman dan tidak akan lagi mengagungkan mereka.
     
      Kututup diary sewaktu awal masuk SMA dulu. Ada senyum malu diujung bibirku setelah membacakannya dihadapan dua orang di hadapanku. Mereka hanya tersenyum dan salah satu dari mereka memeluk erat dan mengeluarkan tawanya. Sementara satu orang melihatku dengan senyuman lalu menunduk lagi.
“Makasih atas cintamu, Ukhti” Tangis Iffah perlahan melepas dekapannya.
“Iya, maaf juga sudah su’uzzon dengan kalian berdua waktu itu.” Ujarku sambil mengurai air mata yang sudah terlanjur mengalir di pipi.
      Iffah dan Danva kembali lagi ke kehidupanku. Bahkan dua kakak-beradik ini lebih akrab denganku. Yah, Mereka melakukan kejadian itu karena mereka muhrim. Bukan seperti yang kukira sebelumnya. Sebuah kejadian lucu dan memalukan untuk diriku sendiri. Aku terlalu sensitif dan emosian. Memang, Iffah menyembunyikan ini dariku dan teman-teman yang lain. Sekali lagi ini gara-gara sifat pemalunya. Aku masih malu atas sikapku waktu itu. Terlebih dengan Danva. Aku telah menzhaliminya dengan menjauhinya tanpa ada penjelasan tentang sikapku. Tapi, sepertinya hatinya begitu tegar menanti penjelasanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui tentang rahasia indah ini. Rahasia tentang puisi kekaguman dari Kak Danva yang diselipkan di Al-Qur’an pink milik Iffah yang sengaja diletakkan di atas tasku, tapi sayangnya aku tak sempat membacanya setelah menghindar sejauh mungkin dari mereka berdua. Rasa kagumku dibalas lebih indah oleh Kak Danva, tapi aku sendiri yang menghalanginya masuk ke tempat terindah setiap insan. Kini, senja langit kalbuku telah berganti dengan sebuah mentari indah. Iffah, calon adik iparku.



JANJI AYAH

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 11:03 PM 0 comments


Uhuk...uhuk...uhuk...
            Ringtone Abi yang sensitif ini akan berdering jika ada asap-asap hitam berkeliaran di sekitar hidungnya. Sebenarnya, gadis lincah itu tidak mempunyai alergi terhadap batang-batang yang dihisap oleh beberapa orang –yang menurutnya-  egois disampingnya. Lebih kepada protes dan aksi pencanangan “No Tobacco” saja. Ya, saja disini sangat berarti maknanya bagi Abi. Dulu, sekarang dan yang akan datang Abi tetap keukeuh dengan anti tembakaunya itu. Tak jarang, gadis yang dikenal pendiam ini akan berubah 360 derajat sikapnya dan berani menegur orang yang sering ‘merusak suasananya’ jika ringtone sok batuk yang dilancarkan nihil hasilnya.

Send All
Argh, tega banget sih nyakitin diri sendiri :@

Tuts-tuts di Sony Ericson W395 miliknya mulai menjelajahi nomor-nomor orang yang bisa diajak curhat. Jemarinya terus bermain membalas sms-sms yang masuk. Segala emotion yang tersedia Abi gunakan jika harus terjebak naik bus dengan resiko yang tiada terkira. Mulai dari asap-asap yang menyesakkan napas, musik triping yang memekakkan telinga, bau keringat, bahkan aksi pinjem tak kembali yang kadang bikin nangis tua alias kecopetan.
“Maaf Mas, saya alergi sama asap. Tolong dong rokoknya !” Pinta Abi sedikit kesal setelah aksi ringtonenya gagal.
“Aduh Mbak, kenapa gak naik Trans Musi aja kalo gak tahan rokok? Sayang Mbak, baru gini.” Jawab lelaki berkaos yang mulai pudar itu tanpa ambil pusing dengan protesan Abi.
Geram sekali Abi mendengarnya. Andai saja perutnya tidak sedang sakit siang itu mungkin dia akan berdebat dengan lelaki gondrong itu.
“Ya sudah, saya mau tutup hidung kalo gitu. Maaf yah! ! !” Abi langsung menarik ujung bagian kanan jilbab parisnya menuju arah hidung.
Menyesal. Abi yang terbiasa pulang dengan Bis khusus tanpa asap rokok, siang ini dia menumpang bis demi cepat-cepat sampai ke rumah. Sakit perut bulanannya sangat menyiksa sehingga Abi memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Tempat lesnya yang cukup jauh dari terminal KM 12 menambah uncomportablenya selama di perjalanan.
***
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Abi langsung menuju kamar.
            “Wa’alaikumsalam! Kok, cepat Bi? Tumben?” Tanya Mama keheranan.
            “Sakit Ma, PMS!” Teriaknya sambil meraih obat yang pernah diberikan Kak Dara, kakaknya yang masih Coass.
            “Oh, pantesan. Makan dulu, terus istirahat!” Perintah Mama sambil terus mengaduk adonan pempek untuk snack sore nanti.
            “Yuhuu...”
***
            Udang Saus Tiram, Cah Kangkung, Sambal Teri Medan terhidang rapi di meja makan malam. Seperti biasanya, Mama, Ayah, dan Abi langsung menuju tempat mengisi perut sekaligus mengisi hati. Abi yang hanya dua bersaudara memang sering kesepian jika Kak Dara harus jaga di Rumah Sakit dalam masa magangnya untuk mendapat gelar dr itu. Makan malam adalah momentum yang paling istimewa untuk keluarga ini karena inilah forum komunikasi di keluarga mereka. Walaupun, ada adat dari salah satu daerah yang menyimbolkan dining room as a silent room tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kebiasaan di rumah bernuansa ungu tersebut.
            “Gimana bimbelnya Bi? Kira-kira nyampe gak target kamu?” Ayah memulai percakapan malam itu.
            “Bimbelnya sih asik Yah, tapi Abi masih ngarep yang jalur dari sekolah. Solo. Solo. Hhehe” Sepertinya obat dari Kak Dara cukup ampuh mengembalikan senyum Abi.
            “Yang seriuslah Bi, Ayah sama Mama berharap kamu bisa dikasih yang terbaik.” Ayah menanggapi diplomatis sikap anak bungsunya itu.
            “Kok Solo? Kamu daftar disana?” Mama memasang wajah yang cukup menyeramkan.
            Mama adalah satu-satu orang di rumah yang tidak demokratis masalah jarak. No way banget kalo anaknya mau pergi jauh dengan alasan jangka waktu yang lama. Especially jarak antar pulau.
            “Ih Mama, sensi amat sih. Do’ain aja atuh. Ada kejutan yang menanti.” Goda Abi dan matanya langsung melotot melihat pemandangan yang sangat dibencinya.
            Lagi-lagi, sehabis makan malam ayah tak pernah absen dari rutinitas kejamnya. Merokok. Abi berubah menjadi sangat cerewet jika sedang melihat Ayah menghisap batang-batang racun itu. Dia menjadi pengomel yang paling bising dibanding Kak Dara yang sangat miris dengan pendidikannya saat ini. Dokter muda. Tetapi, Ayah sudah terlalu kecanduan. Sewaktu Abi masih kecil dulu ayah sempat terlepas sementara dari batang tembakau, lalu come back pada kebiasaan yang sangat dibenci ketiga perempuan dirumah itu.
***
            Lelap sekali tidur Abi semalam. Seusai shalat subuh dan menonton sedikit tausiah di sebuah stasiun televisi, Abi langsung menyiapkan segala persiapan lesnya hari ini. Ada sebuah tulisan mengusik mata tertera di kalender Hello Kitty yang tergantung di dinding kamar serba birunya. Matanya sedikit menyipit seakan memikirkan sesuatu yang tertulis di keterangan tanggal yang dibentuk hati itu. 9 Juni 2011. Berarti, dua hari lagi. Sejenak Abi berkomat-kamit sendiri dan menjentikkan jarinya. Sepertinya, akan ada yang istimewa hari itu.
            Abi menutup pintu kamarnya dan beranjak menuju ruang makan dan langsung menyeruput susu coklat kesukaannya. Ritual pagi dimulai, sarapan, pamitan, cipika-cipika Mama dan Ayah, Sujud tangan, mendengarkan nasihat take care khas ortu, dan say Asssalammu’alaikum. Namun, sebelum kaki kanan Abi melangkah keluar pintu, Mama tiba-tiba berkata.
            “Kamu TO yah Bi? Jangan salah pilih jurusan!”
“Iya Ma. Tenang aja...” Omongan Abi langsung disahut Mama.
“Psikologi tetap nomor wahid. Hahaha :D” Lanjut keduanya berbarengan.
“Dasar bandel!” Teriak Mama.
***
            Widih, soal SNMPTN memang sungguh luar biasa. Sampai-sampai Abi tak bisa berkata-kata. Selama kurang lebih empat jam yang melelahkan, mata Abi memerah membaca teori-teori dan sedikit angka-angka. Untunglah, ketemu angka yang keriting keriwil hanya di matematika dasar. Tetap saja. Abi mengaku kalah. Tiba-tiba dia teringat lagi dengan nasib SNMPTN Undangan yang hampir terlupakan selama satu bulan ini. Pengumumannya malam sebelum tanda hati di kalender Hello Kitty. Pikirannya mulai bercabang lagi. Sempat serabut dengan groginya menuju SNMPTN Tertulis, sekarang mulai tunggang dengan SNMPTN Undangan yang diharap tapi tak diharap. Loh ? kok kayak belajar Biologi :D. Gak nyambung banget anak IPS gini.
            Sesampai dirumah.
            16.17.  Arloji Digital Guess kado ulang tahun dari Om Arko menunjukkan waktu yang cukup telat menuju rumah. Jalanan betah memasang warna merah pada benda tiga warna bertiang hitam hampir disetiap persimpangan dan perbelokan.
***
            Abi sengaja tak membuka satu sms pun yang menumpuk di inboxnya hari ini. Isinya bisa ditebak. Pasti pertanyaaan, “Kamu lulus gak, Bi ?”. Dia benar-benar ngeri, deg-degan dibanding menunggu pengumuman kelulusan SMA. Dasar cewek aneh. Bukan apa-apa, Mama sama sekali tak setuju jika niat utama Abi menuju Solo terwujud. Sekali lagi karena alasan jarak. Bukan Abi namanya jika tak memberi kejutan untuk orang disekitarnya.
            Setelah shalat maghrib dan makan malam, ada yang aneh malam ini. Abi tak melihat Ayah dan asap-asap menyebalkan lagi. Asbak pun kosong. Tak tersisa sedikit puntung rokok pun. Awal yang bagus. Tapi, Abi berharap ini bukannya karena Ayah belum waktunya merokok dan sedang tidak ada dirumah. Lebih dari itu. Please! L
            “Ma, malem ini pengumuman SNMPTN udah bisa dilihat loh!”
            “Isya’an dulu, tuh baru aja adzan. Abis itu kamu liat pengumuman. Jangan berpikir pendek, masih banyak jalan selain jalur itu.” Mama memang tak terlalu antusias karena jarak itu.
            “Iya deh Ma.”
*Selesai shalat
            Laptop di turn on, speedy siap siaga, binder dan pena menemani dan mulailah Abi menjelajah dunia maya malam itu. Sepuluh jari lentiknya mulai menginput alamat website, pin dan semua yang tertera di laman web itu. Terakhir, ba’da basmalah ditekannya tombol penentuan itu sambil memejamkan mata. Lima belas detik berlalu, dibukanya pelan-pelan kedua mata sipitnya. Diejanya setiap huruf di page itu. Diulanginya sampai tiga kali. Sunnah rasul. Lalu dicetak dua lembar saat itu juga.
            “Gimana Bi?” Tanya Mama.
            “Ayah mana, Ma?” Abi bertanya balik.
            “Jemput Kak Dara, katanya besok ada hari special. Mama juga gak ngerti.”
            “Mana hasilnya?” Tambah Mama.
            “Yah Mama, besok kan tanggal 9 Juni. Ayah ulang tahun.”
“Pantes dia bilang hari special. Ya Allah Mama lupa Bi. Aduh!” Mama menyesal.
“Ya udah, barengan aja liatnya sama Ayah dan Kak Dara. Maaf yah Ma kalau gak sesuai harapan.” Abi tak mengaku kalau dia sudah mencetak hasil pengumumannya yang tampak mengecewakan.
“Emang belum kamu liat? Lagian apapun hasilnya, Mama kan udah bilang masih banyak jalan lain.” Mama langsung memeluk anak gadisnya itu.
“Besok aja Ma.”
***
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam!”
            “Lah, kamu gak bimbel Bi?” Kak Dara keheranan melihat adiknya asoy-geboy tanpa ada tanda-tanda ingin pergi. Abi malah memeluk Ayah yang berada dibelakangnya dengan membawa secarik kertas.
            “Gimana sih Kak, hari ini kan Ayah ulang tahun. Jadi, Abi gak mau telat ngucapinnya. Met milad Ayah! Mmmmmmuacchhh” Ciuman khas itu mendarat lembut di dahi Ayah.
            “Yeh, kakak juga udah ngucapin kok. Duluan malah.” Dara ikut nimbrung memberikan ciuman dahi kepada Ayah.
            “Selamat ulang tahun Suamiku!” Kali ini Ayah yang beranjak menghampiri Mama dan memeluknya.
            “Makasih semuanya!....” Belum sempat Ayah melanjutkan kata-katanya, Abi langsung berbicara.
            “Ini kado special dari Abi.” Abi menyodorkan secarik kertas kejutan.
            Ayah membinar membaca hasil pengumuman semalam.
            “Alhamdulillah. Jadi diam-diam kamu milih Unsri juga? Dasar anak bandel.”
            Mama dan Kak Dara menemukan pandangan mata mereka yang keheranan.
            “Iya dong, Mama, Kak Dara ini hasil pengumuman semalam. Maaf Abi bohong sama Mama semalam. Tenang aja Ma, Abi diterima di Fakultas Hukum Unsri kok.  Bukan Solo!”
            Mama langsung menangis terharu. Kak Dara pun terlihat senang dengan cara pelukan mendadaknya kepada Abi. Pertanyaan menggelitik diutarakan Kak Dara.
            “Amira Sabrina si pendiam ini pengen masuk FH?” Candanya mencubit hidung Abi.
            “Iya, why not. Nanti, kalo Abi jadi penegak hukum Abi bakal nyusun hukum baru tentang merokok. Biar Ayah tercinta ini gak perlu repot-repot meracuni diri lagi.” Abi masih saja sinis dengan smoking Ayahnya itu.
            “Tenang Bi, Ayah udah tekad kok. Insya’ Allah 51 ini Ayah gak akan merokok lagi. Udah janji kok. Ampun deh Bu Jaksa!”
            Binar bahagia tercipta pagi itu. Ayah memasuki usia satu tahun setelah setengah abad dengan nikmat yang tiada terkira. Abi diterima di Universitas yang dikehendaki Mama. Dara tinggal menunggu hari saja untuk mendapat gelar dokternya. Membahagiakan lagi, Abi tak perlu bersusah-payah memperjuangkan niatnya membuat aturan tentang rokok karena orang yang dicintainya saat ini sudah mengalah untuk kemenangan sejati.

Binar matamu kala itu
Tak pernah kulupa sampai memori nanti melupa
Denyut hatimu kala itu
Tak pernah alpa sampai rasa nanti mengalpa
Langkah kakimu kala itu
Tak pernah lelah sampai jalan nanti mengaku kalah
Tetaplah berdiri didepanku
Aku masih ingin teduhmu
Tetaplah mengarung bahteramu
Aku masih ingin jadi dermagamu
Tetaplah mengayuh penamu
Aku masih ingin puisimu
Menantilah senyum-senyum dalam usiamu
Selalu banggamu menjadi citaku

                  
  
           

Wednesday, March 21, 2012

Review Monthly Wish (Maret)

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 7:45 PM 0 comments
Assalamualaikum...

Hari ini tanggal 22 Maret 2012. Sepanjang perjalanan menuju kampus pagi tadi cukup membuatku senyum-senyum sendiri. Hari ini kan ada wisudahan. Uhm, hal yang sama yang bakal aku rasain tiga tahun lagi (aamiin). Setelah kemarin puas ngeliat parade 'fashion show'-istilah yang kuberikan untuk suasana yudisium di kampusku-, hari ini semuanya cantik dan ganteng, riasan wajah yang sedikit tebal, jalanan padat, dan penuh sukacita. Dapet bangetlah suasananya. ^_^

Okeh, kembali ke judul utama
postinganku kali ini bakal ngereview monthly wish bulan kemarin.
  1. Mengajukan proposal PKM-GT (finish)
  2. Hafal Surat Rabithah (finish)
  3. Menghidupkan kembali tahajud-tahajudku(continue)
  4. Nonton Negeri 5 Menara(loading)
  5. Foto angkatan(finish)
  6. Sukses ujian pertama Struktur Hewan ^_^(finish, agak ragu)
  7. Amanah menjadi sekretaris 'detektif'(continue)
  8. Menamatkan roman Anak Semua Bangsa(finish)
 Alhamdulillah yaa, kalo di persentasikan udah hampir 90% terealisasi. yeyyeyeyeyyeye. ahahahha. okelah, mudah-mudahan pas akhir bulan ntar semuanya udah terwujud. aamiin yaa Allah ^_^



Iffah, begitulah yang kudengar dari percakapan beberapa siswa sewaktu istirahat MOS di SMA Nusantara. Tempat baruku meneruskan jenjang pendidikan setelah puas tiga tahun mengenakan seragam putih-biru. Namanya memang seindah akhlaknya. Sejak pertama aku menatap kedua mata indahnya rasanya mataku berkata iri dengan lekuk mata hitam bukti sujudnya. Sabtu cerah yang penuh hikmah menurutku. Jalan cinta-Nya membimbingku mengenal sosok panutan muslimah masa kini. Dia tak malu menutupkan dadanya dengan seuntai kain terjulur sampai menuju batas perut atasnya. Kutaksir begitulah kira-kira jilbab yang mestinya kupakai saat ini. Tapi, entahlah nafsu duniawiku belum sezuhud kandidat putri sekolah itu.
Jangan pernah menganggap aku lesbian atau penyuka sesama jenis. Sungguh aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku akan keshalehan teman baruku ini. Sekali kali kuucap namanya dalam percakapanku bersama Mama di siang itu.
“Namanya Iffah, kayaknya dia bakal jadi inceran teman-teman satu sekolah deh Ma! Matanya, senyumnya, dan keshalehannya itu loh yang buat Kia iri sebagai sesama muslimah.” Bibirku terus mengeluarkan sejuta pujian sambil berdiri memandang langit yang terlihat mendung siang itu.
“Iffah? Nama yang bermakna bagus, Sayang.” Jawab Mama memandang kekosongan mataku yang tak fokus dengan cuaca hari ini.
“Iya yah Ma? Emang apa arti Iffah Ma?” Tanganku menggapai secangkir teh hangat dari Mama.
“Iffah itu artinya orang yang selalu berbuat kebaikan. Tapi Adzkia Annisa Putri Arifin lebih anggun tuh.” Mama menghiburku lalu bergegas mematikan api kompor di dapur.
“Mama, selalu aja gitu. Iya deh Kia harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah dikasih sama Allah. Nggak bakal lupa deh nasehatnya Mama.” Kupasang wajah sedikit cemberut tanda manjaku sambil menyeruput tehku.
Pinterrrr yah anak Mama!” Mama mencubit pipiku yang sering dijuluki teman-temanku Bakpau.
Ihh Mama!!!”

Begitulah keakrabanku dengan Ibunda tercinta. Banyak teman-teman yang heran kalau lagi ke rumah mendapatiku sedang bercanda dengan Mama. Seperti bersahabat. Itulah ibuku yang selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, orang tua, bahkan pacar. Wajar saja kalau aku tak pernah enggan curhat apapun dengan Mama. Bahkan masalah teman lelaki yang biasanya isin -malu dalam bahasa jawa- untuk diceritakan bagi sebagian remaja.
Tapi hukum itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Mama adalah psikolog keluarga yang paling mantap menurutku, walaupun beliau tidak pernah mendapatkan gelar sarjana psikologi dari universitas manapun. Aku sama sekali tidak risih curhat tentang aksi nekad Rafa, vokalis band sekolah yang digandrungi cewek-cewek satu sekolah saat menyanyikan lagu Flanella Bila Engkau di depan kelas dengan setangkai bunga Lili kesukaanku sehari sebelum perpisahan SMP, dan apa reaksinya?
Mama malah ketawa-ketawa sambil ngeledek kalau anaknya udah memasuki zona terindah dalam kehidupan remaja. Dicinta dan mencintai makhluk Allah yang fitrah bagi manusia. Walaupun, Mama tetap menyiratkan bahwa tak ada pacaran dalam islam. Kalau suka it’s okey, tapi pacaran no way Kia!

      Senin yang cukup sejuk menuju sekolah. Tas ranselku sudah tergeletak di sebelah kanan dekat pintu Avanza Mama. Mataku terus mencerna beberapa kata yang tertulis di seberang lensa kacamataku. Sementara jemari terus menekan tuts-tuts benda berukuran 7 x 3 cm itu. Warnanya yang cukup pekat dan berdesain garis-garis banyak menimbulkan persepsi kalo kamus kecil itu Al-Qur’an. Bukan. Benda itu adalah sebuah kamus saku elektronik yang diberikan Papa bulan kemarin karena kelulusanku yang cukup membanggakan.
      Pukul 06.40 WIB. Seperti biasa, itulah jadwalku tiba di sekolah. Maklum saja sekolah baruku menetapkan 06.50 WIB sebagai batas akhir pagar setinggi 2 meteran itu ditutup. Dan kalau sampai terlambat, ada ‘gift’ khusus dari guru piket. Aku menangkap satu pemandangan itu lagi. Lagi-lagi Iffah. Ah, ingin sekali aku menghampirinya dan bersahabat dengan akhwat yang satu ini.
      Sebuah pohon rindang sepertinya merindukan tawa dan canda manusia. Utamanya remaja yang biasanya tersenyum bangga bercerita dengan temannya tentang jumlah sms dan incoming call yang masuk tadi malam dilayar hp mereka. Atau mungkin sekedar bercerita tentang sosok Ketua Rohis yang baru saja melewati koridor sekolah. Jilbabku menjuntai lemas hingga ke bawah dada. Ini awal keistiqomahanku menuju takwa. Baru saja ingin mendaratkan tubuhku di bangku yang diletakkan dibawah rindangnya beringin sekolah, bel berbunyi empat kali. Tandanya kumpul ke lapangan utama.

      Sekejap, aku sudah menempati sebuah kursi stainless stell dengan papan kayu dibagian depan sejurus dengan meja guru yang ditata di tengah-tengah ruangan kelas. Sebuah kursi di sebelah kananku masih kosong. Mungkin itu tempat bagi siswa yang terakhir masuk karena hanya ada satu kursi yang tersisa.
Mataku mulai melirik kanan-kiri  mencoba mencari seseorang yang mungkin saja ku kenal. Bermodal senyum dan dua lesung pipi yang menjadi kebanggaan tersendiri bagiku aku mulai beramah-tamah dengan sebagian anak-anak lain. Seusai mengenalkan diri dengan beberapa teman aku kembali menuju kursiku lagi. Jam tangan Adidas biruku sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB. Lima menit lagi akan ada guru yang memasuki ruangan dan bertindak sebagai wali kelas kami seperti yang diberitahukan dalam apel tadi.

      Terdengar sebuah ketokan pintu dari sudut kiri ruangan. Semua anak-anak sibuk mengatur diri menuju tempat duduknya masing-masing. Semua berpikir seorang guru yang memasuki kelas awal pagi itu. Tapi, ternyata bukan wali kelas yang mengetok pintu. Sosok itu lagi. Subhanallah, aku sekelas dengan Nur Iffah Aathifah. Yah, itulah yang kutangkap dari bed nama yang tertempel disudut kanan atas seragamnya. Sebagian teman-teman yang terlahir dengan riwayat adam seakan enggan menutup bibirnya untuk membalas salam dari Iffah.
‘Wa’alaikumsalam’ menyebar di seluruh ruangan dengan posisi mata tak berkedip dan mulut menganga. Andai saja ada seekor serangga seperti nyamuk atau lalat berkeliaran, mungkin mereka akan longgar sekali masuk ke rongga mulut para lelaki itu. Suasana yang lucu. Kahlil and the gank menawarkan kursi mereka untuk ditempati oleh Iffah. Tapi Iffah lebih tertarik melihat kursi kosong di sebelah kananku. Good job. Dia akan duduk disebelahku. Awal yang baik untuk mengenalkan diri pikirku.
“Kia, kamuuuu??” Kusodorkan tangan kananku dan mataku sengaja kubuat seperti mencari bed namanya.
“Iffah, Nice to meet you! Mudah-mudahan kita bisa jadi teman!” Jawabnya sambil menampakkan bed namanya dan dihiasi senyum.
Nice to meet you too. Insya’ Allah!” Bisikku lalu membuang muka menuju Pak Fadlan, wali kelas kami yang baru saja datang.

Seminggu  menjadi teman Iffah cukup menyenangkan. Dia sangat pemalu. Apalagi dengan kaum adam. Dia selalu kabur dan wajahnya memerah jika ada anak cowok di sekolah yang menggodanya atau sekedar menyapanya dengan kata “Assalamu’alaikum cantik!”. Aku yakin kalau saja Rasti, temanku yang cukup centil berada di posisi Iffah, dia bakalan kelepek-kelepek dan meladeni ucapan manis para lelaki. Rasa malu Iffah memang menjadi daya tarik baginya. Lugu dan bikin penasaran, itulah yang terlontar dari mulut Ferdy saat senyumnya ditinggal pergi oleh sang putri sekolah.
Idaman. Itulah sosok Iffah akhir-akhir ini. Dan aku yakin pasti banyak atensi tertuju kepadanya saat acara ulang tahun sekolah bulan depan. Tapi, apa yang terjadi dengan jantungku sekarang. Detaknya mulai merangkak menuju jarak terjauh dengan jarak tempuh yang tak tentu. Mataku yang semula menatap sebuah keindahan mulai kutundukkan dan kupalingkan wajahku dari sosok itu. Duh Gusti, jagalah hatiku. Ingin kulangkahkan kakiku sejauh mungkin dari tempat ini, tapi berat sekali rasanya. Terlambat. Tiba-tiba.
“Maaf, kamu anak X 2?” Tanya seorang berpostur tinggi dengan beberapa lembaran kertas di tangannya.
“I..yy...a K..aa..k.” Aku harus sedikit mendongak untuk menatap wajahnya sebagai bentuk kesopananku menjawab pertanyaannya.
“Titip ini yah. Brosur dari Rohis, kalau ada waktu silahkan gabung.” Tangan kanannya menjulurkan sekitar lima lembaran brosur berwarna biru itu.
Syukran Kak.” Aku mencoba menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak Rohis.
Afwan.” Jawabnya singkat dan menghilang.
      Aduh, penyakit lamaku kumat lagi. Aku lupa menanyakan namanya. Ada sedikit kekesalan dalam hati, tapi untuk apa juga aku tahu namanya. Biar kamu bisa kenalan dan berbagi rasa fitrah dengannya, jawab setan di sebelah kiriku. Tidak Kia! ingat dia Adam! belum saatnya, jawab malaikat disebelah kananku. Forget it. Terserah dosa atau fitrah, aku sedikit menyimpan rekaman senyum simpulnya ketika berbalik arah meninggalkan pertemuan kami di depan kelasku tadi. Ada satu senyum unforgettable lagi selain milik Iffah. Astaghfirullah, batinku lalu bergegas menyebarkan brosur yang baru kudapatkan tadi.

      Sepertinya waktu cepat sekali beranjak, tiga hari lagi acara ulang tahun sekolah akan digelar. Kebetulan aku mendapat tugas yang cukup membuatku gugup. Kak Danva, Ketua OSIS SMA Nusantara menawariku untuk menjadi Master of Ceremonial acara hiburan. Aku bangga sekali, apalagi sewaktu aku tahu kalau ternyata Kak Danva adalah kakak rohis yang sempat menggetarkan hatiku. Gara-gara tugas MC, mau tidak mau aku selalu bertemu dengannya. Sedikit tersimpan kekaguman dengan sosok adam ini. Seorang pemimpin yang tak melupakan agamanya. Aku kira semua ketua OSIS bakal memilih ekskul yang dianggap keren tapi bersifat duniawi seperti band, atau basket maybe. Tapi, itu tidak berlaku bagi Kak Danva. Subhanallah, sungguh ini dosa terindah yang sulit untuk kuhapus dari memoriku.
      Sebuah gedung berwarna hijau segar menyambut mata empatku. Tegak, kokoh, dan mulai padat dengan beberapa alas kaki di teras keramik putihnya. Sepatu hitam sportyku segera mendarat tersusun rapi mengikuti jalur indahnya. Perlahan kaki mulai melangkah menuju sebuah pintu dengan dua buah lengan. Sesaat, ada sebuah senyum terlihat dari jarak tak terlalu jauh. Dan, bahunya dan bahuku menyatu diiringi sapaan khas yang sudah mulai akrab dengan kedua pipiku. Cipika-cipiki. Sebuah salam yang sering dilakukan anak-anak rohis sesama jenis. Akan jadi fatal jika kejadiannya berbalik layaknya pemandangan yang sering ku lihat di taman setiap sore menuju rumahku. Perempuan dan laki-laki menyatu dan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan sekarang dengan Mbak Sarah, seniorku di ekskul Rohis.
      Tapi, aku tak melihat sahabatku di tempat itu. Memang seminggu terakhir ini aku jarang bertemu dengannya selain di ruangan kelas. Aku cukup senang dengan perubahan sifatnya sekarang. Perlahan, Iffah sudah mudah akrab dengan makhluk yang bernama cowok. At least, Iffah gak pernah kabur lagi ketika disapa oleh Ferdy dan kawan-kawan. Adaptasi yang diajarkan dari Rismi sepertinya sukses. Mungkin juga dia termotivasi dengan gelar yang disandangnya sekarang. Putri Sekolah. Bersikap seramah mungkin adalah kewajibannya setelah mendapatkan amanah itu. Tapi aku merasa ada yang hilang dari Iffah. Entahlah.
Setelah berbasa-basi dengan Mbak Sarah, aku langsung meletakkan tas sandangku di lantai mushola. Aku melihat lagi sang penggetar hati. Ah, cepat kubuang jauh-jauh senyum kagumku. Takut fitnah. Badanku kuputar hingga 90o menuju tempat wudhu.  14.20 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kajian dimulai. Tapi, mataku terus mencari Iffah, apa dia tak datang lagi seperti minggu lalu. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku. Sebuah mushaf pink tergeletak di atas tasku. Mirip punya seseorang, tapi aduh penyakitku kumat lagi. Aku lupa punya siapa mushaf itu. Mushaf itu bukan punyaku tapi mengapa ada di atas tasku. Lebih baik kuletakkan di tempat penyusunan Al-Qur’an di lemari dekat tempat Imam shalat pikirku. Aku tak ragu menuju shaf lelaki karena Kak Danva tidak duduk di tempat duduknya sewaktu aku datang tadi. Ada sebuah jendela di sebelah tempat Imam shalat yang berhadapan dengan bagian belakang tempat wudhu.
      Mataku menangkap sesuatu yang menggetarkan hati. Bukan, ini bukan getar hatiku yang mengagumi atas keteduhan wajah Kak Danva atau senyum Iffah. Lebih dari itu, hatiku rasanya mulai berkecamuk dan memaki telah membiarkan mataku mencuri pandang dari balik jendela. Ini benar-benar dosa bagiku. Tapi, tidak lagi dosa terindah. Aku menyaksikan dua orang anak manusia sedang bercanda gurau dengan tangan yang mulai jahil menyentuh tubuh satu sama lain. Entah sengaja atau tidak disengaja. Aku tak peduli. Mereka panutanku, penggetar hatiku, awal keistiqomahanku. Sangat mendendam telah mengagungkan mereka selama ini. Cepat kupalingkan wajahku menjauhi perih ini. Sesal tak ada bendung dalam dadaku.

Sabtu, 17 Juli 2006
Aku kecewa dengan kalian, Iffah dan Danva. Sosok yang kusaluti atas keistiqomahan dalam beragama. Ya Allah, aku menyayangi mereka karena-Mu. Maaf atas segala lancangnya hati membawa nama-Mu mencintai mereka yang mengecewakanku. Hatiku menangis tertahan. Bukan cemburu atas Kak Danva yang dekat dengan Iffah. Demi Allah bukan karena itu. Aku lebih sakit atas pengkhiatan sikap yang selama ini tercipta. Teduhnya wajah, sucinya pandangan, dan bersihnya hati dari cinta semu tak kulihat lagi dari kedua sosok itu. Saat ini, ku coret mereka dalam list penggetar jiwaku. Cukup berteman dan tidak akan lagi mengagungkan mereka.
     
      Kututup diary sewaktu awal masuk SMA dulu. Ada senyum malu diujung bibirku setelah membacakannya dihadapan dua orang di hadapanku. Mereka hanya tersenyum dan salah satu dari mereka memeluk erat dan mengeluarkan tawanya. Sementara satu orang melihatku dengan senyuman lalu menunduk lagi.
“Makasih atas cintamu, Ukhti” Tangis Iffah perlahan melepas dekapannya.
“Iya, maaf juga sudah su’uzzon dengan kalian berdua waktu itu.” Ujarku sambil mengurai air mata yang sudah terlanjur mengalir di pipi.
      Iffah dan Danva kembali lagi ke kehidupanku. Bahkan dua kakak-beradik ini lebih akrab denganku. Yah, Mereka melakukan kejadian itu karena mereka muhrim. Bukan seperti yang kukira sebelumnya. Sebuah kejadian lucu dan memalukan untuk diriku sendiri. Aku terlalu sensitif dan emosian. Memang, Iffah menyembunyikan ini dariku dan teman-teman yang lain. Sekali lagi ini gara-gara sifat pemalunya. Aku masih malu atas sikapku waktu itu. Terlebih dengan Danva. Aku telah menzhaliminya dengan menjauhinya tanpa ada penjelasan tentang sikapku. Tapi, sepertinya hatinya begitu tegar menanti penjelasanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui tentang rahasia indah ini. Rahasia tentang puisi kekaguman dari Kak Danva yang diselipkan di Al-Qur’an pink milik Iffah yang sengaja diletakkan di atas tasku, tapi sayangnya aku tak sempat membacanya setelah menghindar sejauh mungkin dari mereka berdua. Rasa kagumku dibalas lebih indah oleh Kak Danva, tapi aku sendiri yang menghalanginya masuk ke tempat terindah setiap insan. Kini, senja langit kalbuku telah berganti dengan sebuah mentari indah. Iffah, calon adik iparku.





Uhuk...uhuk...uhuk...
            Ringtone Abi yang sensitif ini akan berdering jika ada asap-asap hitam berkeliaran di sekitar hidungnya. Sebenarnya, gadis lincah itu tidak mempunyai alergi terhadap batang-batang yang dihisap oleh beberapa orang –yang menurutnya-  egois disampingnya. Lebih kepada protes dan aksi pencanangan “No Tobacco” saja. Ya, saja disini sangat berarti maknanya bagi Abi. Dulu, sekarang dan yang akan datang Abi tetap keukeuh dengan anti tembakaunya itu. Tak jarang, gadis yang dikenal pendiam ini akan berubah 360 derajat sikapnya dan berani menegur orang yang sering ‘merusak suasananya’ jika ringtone sok batuk yang dilancarkan nihil hasilnya.

Send All
Argh, tega banget sih nyakitin diri sendiri :@

Tuts-tuts di Sony Ericson W395 miliknya mulai menjelajahi nomor-nomor orang yang bisa diajak curhat. Jemarinya terus bermain membalas sms-sms yang masuk. Segala emotion yang tersedia Abi gunakan jika harus terjebak naik bus dengan resiko yang tiada terkira. Mulai dari asap-asap yang menyesakkan napas, musik triping yang memekakkan telinga, bau keringat, bahkan aksi pinjem tak kembali yang kadang bikin nangis tua alias kecopetan.
“Maaf Mas, saya alergi sama asap. Tolong dong rokoknya !” Pinta Abi sedikit kesal setelah aksi ringtonenya gagal.
“Aduh Mbak, kenapa gak naik Trans Musi aja kalo gak tahan rokok? Sayang Mbak, baru gini.” Jawab lelaki berkaos yang mulai pudar itu tanpa ambil pusing dengan protesan Abi.
Geram sekali Abi mendengarnya. Andai saja perutnya tidak sedang sakit siang itu mungkin dia akan berdebat dengan lelaki gondrong itu.
“Ya sudah, saya mau tutup hidung kalo gitu. Maaf yah! ! !” Abi langsung menarik ujung bagian kanan jilbab parisnya menuju arah hidung.
Menyesal. Abi yang terbiasa pulang dengan Bis khusus tanpa asap rokok, siang ini dia menumpang bis demi cepat-cepat sampai ke rumah. Sakit perut bulanannya sangat menyiksa sehingga Abi memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Tempat lesnya yang cukup jauh dari terminal KM 12 menambah uncomportablenya selama di perjalanan.
***
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Abi langsung menuju kamar.
            “Wa’alaikumsalam! Kok, cepat Bi? Tumben?” Tanya Mama keheranan.
            “Sakit Ma, PMS!” Teriaknya sambil meraih obat yang pernah diberikan Kak Dara, kakaknya yang masih Coass.
            “Oh, pantesan. Makan dulu, terus istirahat!” Perintah Mama sambil terus mengaduk adonan pempek untuk snack sore nanti.
            “Yuhuu...”
***
            Udang Saus Tiram, Cah Kangkung, Sambal Teri Medan terhidang rapi di meja makan malam. Seperti biasanya, Mama, Ayah, dan Abi langsung menuju tempat mengisi perut sekaligus mengisi hati. Abi yang hanya dua bersaudara memang sering kesepian jika Kak Dara harus jaga di Rumah Sakit dalam masa magangnya untuk mendapat gelar dr itu. Makan malam adalah momentum yang paling istimewa untuk keluarga ini karena inilah forum komunikasi di keluarga mereka. Walaupun, ada adat dari salah satu daerah yang menyimbolkan dining room as a silent room tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kebiasaan di rumah bernuansa ungu tersebut.
            “Gimana bimbelnya Bi? Kira-kira nyampe gak target kamu?” Ayah memulai percakapan malam itu.
            “Bimbelnya sih asik Yah, tapi Abi masih ngarep yang jalur dari sekolah. Solo. Solo. Hhehe” Sepertinya obat dari Kak Dara cukup ampuh mengembalikan senyum Abi.
            “Yang seriuslah Bi, Ayah sama Mama berharap kamu bisa dikasih yang terbaik.” Ayah menanggapi diplomatis sikap anak bungsunya itu.
            “Kok Solo? Kamu daftar disana?” Mama memasang wajah yang cukup menyeramkan.
            Mama adalah satu-satu orang di rumah yang tidak demokratis masalah jarak. No way banget kalo anaknya mau pergi jauh dengan alasan jangka waktu yang lama. Especially jarak antar pulau.
            “Ih Mama, sensi amat sih. Do’ain aja atuh. Ada kejutan yang menanti.” Goda Abi dan matanya langsung melotot melihat pemandangan yang sangat dibencinya.
            Lagi-lagi, sehabis makan malam ayah tak pernah absen dari rutinitas kejamnya. Merokok. Abi berubah menjadi sangat cerewet jika sedang melihat Ayah menghisap batang-batang racun itu. Dia menjadi pengomel yang paling bising dibanding Kak Dara yang sangat miris dengan pendidikannya saat ini. Dokter muda. Tetapi, Ayah sudah terlalu kecanduan. Sewaktu Abi masih kecil dulu ayah sempat terlepas sementara dari batang tembakau, lalu come back pada kebiasaan yang sangat dibenci ketiga perempuan dirumah itu.
***
            Lelap sekali tidur Abi semalam. Seusai shalat subuh dan menonton sedikit tausiah di sebuah stasiun televisi, Abi langsung menyiapkan segala persiapan lesnya hari ini. Ada sebuah tulisan mengusik mata tertera di kalender Hello Kitty yang tergantung di dinding kamar serba birunya. Matanya sedikit menyipit seakan memikirkan sesuatu yang tertulis di keterangan tanggal yang dibentuk hati itu. 9 Juni 2011. Berarti, dua hari lagi. Sejenak Abi berkomat-kamit sendiri dan menjentikkan jarinya. Sepertinya, akan ada yang istimewa hari itu.
            Abi menutup pintu kamarnya dan beranjak menuju ruang makan dan langsung menyeruput susu coklat kesukaannya. Ritual pagi dimulai, sarapan, pamitan, cipika-cipika Mama dan Ayah, Sujud tangan, mendengarkan nasihat take care khas ortu, dan say Asssalammu’alaikum. Namun, sebelum kaki kanan Abi melangkah keluar pintu, Mama tiba-tiba berkata.
            “Kamu TO yah Bi? Jangan salah pilih jurusan!”
“Iya Ma. Tenang aja...” Omongan Abi langsung disahut Mama.
“Psikologi tetap nomor wahid. Hahaha :D” Lanjut keduanya berbarengan.
“Dasar bandel!” Teriak Mama.
***
            Widih, soal SNMPTN memang sungguh luar biasa. Sampai-sampai Abi tak bisa berkata-kata. Selama kurang lebih empat jam yang melelahkan, mata Abi memerah membaca teori-teori dan sedikit angka-angka. Untunglah, ketemu angka yang keriting keriwil hanya di matematika dasar. Tetap saja. Abi mengaku kalah. Tiba-tiba dia teringat lagi dengan nasib SNMPTN Undangan yang hampir terlupakan selama satu bulan ini. Pengumumannya malam sebelum tanda hati di kalender Hello Kitty. Pikirannya mulai bercabang lagi. Sempat serabut dengan groginya menuju SNMPTN Tertulis, sekarang mulai tunggang dengan SNMPTN Undangan yang diharap tapi tak diharap. Loh ? kok kayak belajar Biologi :D. Gak nyambung banget anak IPS gini.
            Sesampai dirumah.
            16.17.  Arloji Digital Guess kado ulang tahun dari Om Arko menunjukkan waktu yang cukup telat menuju rumah. Jalanan betah memasang warna merah pada benda tiga warna bertiang hitam hampir disetiap persimpangan dan perbelokan.
***
            Abi sengaja tak membuka satu sms pun yang menumpuk di inboxnya hari ini. Isinya bisa ditebak. Pasti pertanyaaan, “Kamu lulus gak, Bi ?”. Dia benar-benar ngeri, deg-degan dibanding menunggu pengumuman kelulusan SMA. Dasar cewek aneh. Bukan apa-apa, Mama sama sekali tak setuju jika niat utama Abi menuju Solo terwujud. Sekali lagi karena alasan jarak. Bukan Abi namanya jika tak memberi kejutan untuk orang disekitarnya.
            Setelah shalat maghrib dan makan malam, ada yang aneh malam ini. Abi tak melihat Ayah dan asap-asap menyebalkan lagi. Asbak pun kosong. Tak tersisa sedikit puntung rokok pun. Awal yang bagus. Tapi, Abi berharap ini bukannya karena Ayah belum waktunya merokok dan sedang tidak ada dirumah. Lebih dari itu. Please! L
            “Ma, malem ini pengumuman SNMPTN udah bisa dilihat loh!”
            “Isya’an dulu, tuh baru aja adzan. Abis itu kamu liat pengumuman. Jangan berpikir pendek, masih banyak jalan selain jalur itu.” Mama memang tak terlalu antusias karena jarak itu.
            “Iya deh Ma.”
*Selesai shalat
            Laptop di turn on, speedy siap siaga, binder dan pena menemani dan mulailah Abi menjelajah dunia maya malam itu. Sepuluh jari lentiknya mulai menginput alamat website, pin dan semua yang tertera di laman web itu. Terakhir, ba’da basmalah ditekannya tombol penentuan itu sambil memejamkan mata. Lima belas detik berlalu, dibukanya pelan-pelan kedua mata sipitnya. Diejanya setiap huruf di page itu. Diulanginya sampai tiga kali. Sunnah rasul. Lalu dicetak dua lembar saat itu juga.
            “Gimana Bi?” Tanya Mama.
            “Ayah mana, Ma?” Abi bertanya balik.
            “Jemput Kak Dara, katanya besok ada hari special. Mama juga gak ngerti.”
            “Mana hasilnya?” Tambah Mama.
            “Yah Mama, besok kan tanggal 9 Juni. Ayah ulang tahun.”
“Pantes dia bilang hari special. Ya Allah Mama lupa Bi. Aduh!” Mama menyesal.
“Ya udah, barengan aja liatnya sama Ayah dan Kak Dara. Maaf yah Ma kalau gak sesuai harapan.” Abi tak mengaku kalau dia sudah mencetak hasil pengumumannya yang tampak mengecewakan.
“Emang belum kamu liat? Lagian apapun hasilnya, Mama kan udah bilang masih banyak jalan lain.” Mama langsung memeluk anak gadisnya itu.
“Besok aja Ma.”
***
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam!”
            “Lah, kamu gak bimbel Bi?” Kak Dara keheranan melihat adiknya asoy-geboy tanpa ada tanda-tanda ingin pergi. Abi malah memeluk Ayah yang berada dibelakangnya dengan membawa secarik kertas.
            “Gimana sih Kak, hari ini kan Ayah ulang tahun. Jadi, Abi gak mau telat ngucapinnya. Met milad Ayah! Mmmmmmuacchhh” Ciuman khas itu mendarat lembut di dahi Ayah.
            “Yeh, kakak juga udah ngucapin kok. Duluan malah.” Dara ikut nimbrung memberikan ciuman dahi kepada Ayah.
            “Selamat ulang tahun Suamiku!” Kali ini Ayah yang beranjak menghampiri Mama dan memeluknya.
            “Makasih semuanya!....” Belum sempat Ayah melanjutkan kata-katanya, Abi langsung berbicara.
            “Ini kado special dari Abi.” Abi menyodorkan secarik kertas kejutan.
            Ayah membinar membaca hasil pengumuman semalam.
            “Alhamdulillah. Jadi diam-diam kamu milih Unsri juga? Dasar anak bandel.”
            Mama dan Kak Dara menemukan pandangan mata mereka yang keheranan.
            “Iya dong, Mama, Kak Dara ini hasil pengumuman semalam. Maaf Abi bohong sama Mama semalam. Tenang aja Ma, Abi diterima di Fakultas Hukum Unsri kok.  Bukan Solo!”
            Mama langsung menangis terharu. Kak Dara pun terlihat senang dengan cara pelukan mendadaknya kepada Abi. Pertanyaan menggelitik diutarakan Kak Dara.
            “Amira Sabrina si pendiam ini pengen masuk FH?” Candanya mencubit hidung Abi.
            “Iya, why not. Nanti, kalo Abi jadi penegak hukum Abi bakal nyusun hukum baru tentang merokok. Biar Ayah tercinta ini gak perlu repot-repot meracuni diri lagi.” Abi masih saja sinis dengan smoking Ayahnya itu.
            “Tenang Bi, Ayah udah tekad kok. Insya’ Allah 51 ini Ayah gak akan merokok lagi. Udah janji kok. Ampun deh Bu Jaksa!”
            Binar bahagia tercipta pagi itu. Ayah memasuki usia satu tahun setelah setengah abad dengan nikmat yang tiada terkira. Abi diterima di Universitas yang dikehendaki Mama. Dara tinggal menunggu hari saja untuk mendapat gelar dokternya. Membahagiakan lagi, Abi tak perlu bersusah-payah memperjuangkan niatnya membuat aturan tentang rokok karena orang yang dicintainya saat ini sudah mengalah untuk kemenangan sejati.

Binar matamu kala itu
Tak pernah kulupa sampai memori nanti melupa
Denyut hatimu kala itu
Tak pernah alpa sampai rasa nanti mengalpa
Langkah kakimu kala itu
Tak pernah lelah sampai jalan nanti mengaku kalah
Tetaplah berdiri didepanku
Aku masih ingin teduhmu
Tetaplah mengarung bahteramu
Aku masih ingin jadi dermagamu
Tetaplah mengayuh penamu
Aku masih ingin puisimu
Menantilah senyum-senyum dalam usiamu
Selalu banggamu menjadi citaku

                  
  
           

Assalamualaikum...

Hari ini tanggal 22 Maret 2012. Sepanjang perjalanan menuju kampus pagi tadi cukup membuatku senyum-senyum sendiri. Hari ini kan ada wisudahan. Uhm, hal yang sama yang bakal aku rasain tiga tahun lagi (aamiin). Setelah kemarin puas ngeliat parade 'fashion show'-istilah yang kuberikan untuk suasana yudisium di kampusku-, hari ini semuanya cantik dan ganteng, riasan wajah yang sedikit tebal, jalanan padat, dan penuh sukacita. Dapet bangetlah suasananya. ^_^

Okeh, kembali ke judul utama
postinganku kali ini bakal ngereview monthly wish bulan kemarin.
  1. Mengajukan proposal PKM-GT (finish)
  2. Hafal Surat Rabithah (finish)
  3. Menghidupkan kembali tahajud-tahajudku(continue)
  4. Nonton Negeri 5 Menara(loading)
  5. Foto angkatan(finish)
  6. Sukses ujian pertama Struktur Hewan ^_^(finish, agak ragu)
  7. Amanah menjadi sekretaris 'detektif'(continue)
  8. Menamatkan roman Anak Semua Bangsa(finish)
 Alhamdulillah yaa, kalo di persentasikan udah hampir 90% terealisasi. yeyyeyeyeyyeye. ahahahha. okelah, mudah-mudahan pas akhir bulan ntar semuanya udah terwujud. aamiin yaa Allah ^_^
 

Gerimis itu... Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal