Friday, March 23, 2012

SENJA LANGIT KALBU

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 11:23 PM



Iffah, begitulah yang kudengar dari percakapan beberapa siswa sewaktu istirahat MOS di SMA Nusantara. Tempat baruku meneruskan jenjang pendidikan setelah puas tiga tahun mengenakan seragam putih-biru. Namanya memang seindah akhlaknya. Sejak pertama aku menatap kedua mata indahnya rasanya mataku berkata iri dengan lekuk mata hitam bukti sujudnya. Sabtu cerah yang penuh hikmah menurutku. Jalan cinta-Nya membimbingku mengenal sosok panutan muslimah masa kini. Dia tak malu menutupkan dadanya dengan seuntai kain terjulur sampai menuju batas perut atasnya. Kutaksir begitulah kira-kira jilbab yang mestinya kupakai saat ini. Tapi, entahlah nafsu duniawiku belum sezuhud kandidat putri sekolah itu.
Jangan pernah menganggap aku lesbian atau penyuka sesama jenis. Sungguh aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku akan keshalehan teman baruku ini. Sekali kali kuucap namanya dalam percakapanku bersama Mama di siang itu.
“Namanya Iffah, kayaknya dia bakal jadi inceran teman-teman satu sekolah deh Ma! Matanya, senyumnya, dan keshalehannya itu loh yang buat Kia iri sebagai sesama muslimah.” Bibirku terus mengeluarkan sejuta pujian sambil berdiri memandang langit yang terlihat mendung siang itu.
“Iffah? Nama yang bermakna bagus, Sayang.” Jawab Mama memandang kekosongan mataku yang tak fokus dengan cuaca hari ini.
“Iya yah Ma? Emang apa arti Iffah Ma?” Tanganku menggapai secangkir teh hangat dari Mama.
“Iffah itu artinya orang yang selalu berbuat kebaikan. Tapi Adzkia Annisa Putri Arifin lebih anggun tuh.” Mama menghiburku lalu bergegas mematikan api kompor di dapur.
“Mama, selalu aja gitu. Iya deh Kia harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah dikasih sama Allah. Nggak bakal lupa deh nasehatnya Mama.” Kupasang wajah sedikit cemberut tanda manjaku sambil menyeruput tehku.
Pinterrrr yah anak Mama!” Mama mencubit pipiku yang sering dijuluki teman-temanku Bakpau.
Ihh Mama!!!”

Begitulah keakrabanku dengan Ibunda tercinta. Banyak teman-teman yang heran kalau lagi ke rumah mendapatiku sedang bercanda dengan Mama. Seperti bersahabat. Itulah ibuku yang selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, orang tua, bahkan pacar. Wajar saja kalau aku tak pernah enggan curhat apapun dengan Mama. Bahkan masalah teman lelaki yang biasanya isin -malu dalam bahasa jawa- untuk diceritakan bagi sebagian remaja.
Tapi hukum itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Mama adalah psikolog keluarga yang paling mantap menurutku, walaupun beliau tidak pernah mendapatkan gelar sarjana psikologi dari universitas manapun. Aku sama sekali tidak risih curhat tentang aksi nekad Rafa, vokalis band sekolah yang digandrungi cewek-cewek satu sekolah saat menyanyikan lagu Flanella Bila Engkau di depan kelas dengan setangkai bunga Lili kesukaanku sehari sebelum perpisahan SMP, dan apa reaksinya?
Mama malah ketawa-ketawa sambil ngeledek kalau anaknya udah memasuki zona terindah dalam kehidupan remaja. Dicinta dan mencintai makhluk Allah yang fitrah bagi manusia. Walaupun, Mama tetap menyiratkan bahwa tak ada pacaran dalam islam. Kalau suka it’s okey, tapi pacaran no way Kia!

      Senin yang cukup sejuk menuju sekolah. Tas ranselku sudah tergeletak di sebelah kanan dekat pintu Avanza Mama. Mataku terus mencerna beberapa kata yang tertulis di seberang lensa kacamataku. Sementara jemari terus menekan tuts-tuts benda berukuran 7 x 3 cm itu. Warnanya yang cukup pekat dan berdesain garis-garis banyak menimbulkan persepsi kalo kamus kecil itu Al-Qur’an. Bukan. Benda itu adalah sebuah kamus saku elektronik yang diberikan Papa bulan kemarin karena kelulusanku yang cukup membanggakan.
      Pukul 06.40 WIB. Seperti biasa, itulah jadwalku tiba di sekolah. Maklum saja sekolah baruku menetapkan 06.50 WIB sebagai batas akhir pagar setinggi 2 meteran itu ditutup. Dan kalau sampai terlambat, ada ‘gift’ khusus dari guru piket. Aku menangkap satu pemandangan itu lagi. Lagi-lagi Iffah. Ah, ingin sekali aku menghampirinya dan bersahabat dengan akhwat yang satu ini.
      Sebuah pohon rindang sepertinya merindukan tawa dan canda manusia. Utamanya remaja yang biasanya tersenyum bangga bercerita dengan temannya tentang jumlah sms dan incoming call yang masuk tadi malam dilayar hp mereka. Atau mungkin sekedar bercerita tentang sosok Ketua Rohis yang baru saja melewati koridor sekolah. Jilbabku menjuntai lemas hingga ke bawah dada. Ini awal keistiqomahanku menuju takwa. Baru saja ingin mendaratkan tubuhku di bangku yang diletakkan dibawah rindangnya beringin sekolah, bel berbunyi empat kali. Tandanya kumpul ke lapangan utama.

      Sekejap, aku sudah menempati sebuah kursi stainless stell dengan papan kayu dibagian depan sejurus dengan meja guru yang ditata di tengah-tengah ruangan kelas. Sebuah kursi di sebelah kananku masih kosong. Mungkin itu tempat bagi siswa yang terakhir masuk karena hanya ada satu kursi yang tersisa.
Mataku mulai melirik kanan-kiri  mencoba mencari seseorang yang mungkin saja ku kenal. Bermodal senyum dan dua lesung pipi yang menjadi kebanggaan tersendiri bagiku aku mulai beramah-tamah dengan sebagian anak-anak lain. Seusai mengenalkan diri dengan beberapa teman aku kembali menuju kursiku lagi. Jam tangan Adidas biruku sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB. Lima menit lagi akan ada guru yang memasuki ruangan dan bertindak sebagai wali kelas kami seperti yang diberitahukan dalam apel tadi.

      Terdengar sebuah ketokan pintu dari sudut kiri ruangan. Semua anak-anak sibuk mengatur diri menuju tempat duduknya masing-masing. Semua berpikir seorang guru yang memasuki kelas awal pagi itu. Tapi, ternyata bukan wali kelas yang mengetok pintu. Sosok itu lagi. Subhanallah, aku sekelas dengan Nur Iffah Aathifah. Yah, itulah yang kutangkap dari bed nama yang tertempel disudut kanan atas seragamnya. Sebagian teman-teman yang terlahir dengan riwayat adam seakan enggan menutup bibirnya untuk membalas salam dari Iffah.
‘Wa’alaikumsalam’ menyebar di seluruh ruangan dengan posisi mata tak berkedip dan mulut menganga. Andai saja ada seekor serangga seperti nyamuk atau lalat berkeliaran, mungkin mereka akan longgar sekali masuk ke rongga mulut para lelaki itu. Suasana yang lucu. Kahlil and the gank menawarkan kursi mereka untuk ditempati oleh Iffah. Tapi Iffah lebih tertarik melihat kursi kosong di sebelah kananku. Good job. Dia akan duduk disebelahku. Awal yang baik untuk mengenalkan diri pikirku.
“Kia, kamuuuu??” Kusodorkan tangan kananku dan mataku sengaja kubuat seperti mencari bed namanya.
“Iffah, Nice to meet you! Mudah-mudahan kita bisa jadi teman!” Jawabnya sambil menampakkan bed namanya dan dihiasi senyum.
Nice to meet you too. Insya’ Allah!” Bisikku lalu membuang muka menuju Pak Fadlan, wali kelas kami yang baru saja datang.

Seminggu  menjadi teman Iffah cukup menyenangkan. Dia sangat pemalu. Apalagi dengan kaum adam. Dia selalu kabur dan wajahnya memerah jika ada anak cowok di sekolah yang menggodanya atau sekedar menyapanya dengan kata “Assalamu’alaikum cantik!”. Aku yakin kalau saja Rasti, temanku yang cukup centil berada di posisi Iffah, dia bakalan kelepek-kelepek dan meladeni ucapan manis para lelaki. Rasa malu Iffah memang menjadi daya tarik baginya. Lugu dan bikin penasaran, itulah yang terlontar dari mulut Ferdy saat senyumnya ditinggal pergi oleh sang putri sekolah.
Idaman. Itulah sosok Iffah akhir-akhir ini. Dan aku yakin pasti banyak atensi tertuju kepadanya saat acara ulang tahun sekolah bulan depan. Tapi, apa yang terjadi dengan jantungku sekarang. Detaknya mulai merangkak menuju jarak terjauh dengan jarak tempuh yang tak tentu. Mataku yang semula menatap sebuah keindahan mulai kutundukkan dan kupalingkan wajahku dari sosok itu. Duh Gusti, jagalah hatiku. Ingin kulangkahkan kakiku sejauh mungkin dari tempat ini, tapi berat sekali rasanya. Terlambat. Tiba-tiba.
“Maaf, kamu anak X 2?” Tanya seorang berpostur tinggi dengan beberapa lembaran kertas di tangannya.
“I..yy...a K..aa..k.” Aku harus sedikit mendongak untuk menatap wajahnya sebagai bentuk kesopananku menjawab pertanyaannya.
“Titip ini yah. Brosur dari Rohis, kalau ada waktu silahkan gabung.” Tangan kanannya menjulurkan sekitar lima lembaran brosur berwarna biru itu.
Syukran Kak.” Aku mencoba menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak Rohis.
Afwan.” Jawabnya singkat dan menghilang.
      Aduh, penyakit lamaku kumat lagi. Aku lupa menanyakan namanya. Ada sedikit kekesalan dalam hati, tapi untuk apa juga aku tahu namanya. Biar kamu bisa kenalan dan berbagi rasa fitrah dengannya, jawab setan di sebelah kiriku. Tidak Kia! ingat dia Adam! belum saatnya, jawab malaikat disebelah kananku. Forget it. Terserah dosa atau fitrah, aku sedikit menyimpan rekaman senyum simpulnya ketika berbalik arah meninggalkan pertemuan kami di depan kelasku tadi. Ada satu senyum unforgettable lagi selain milik Iffah. Astaghfirullah, batinku lalu bergegas menyebarkan brosur yang baru kudapatkan tadi.

      Sepertinya waktu cepat sekali beranjak, tiga hari lagi acara ulang tahun sekolah akan digelar. Kebetulan aku mendapat tugas yang cukup membuatku gugup. Kak Danva, Ketua OSIS SMA Nusantara menawariku untuk menjadi Master of Ceremonial acara hiburan. Aku bangga sekali, apalagi sewaktu aku tahu kalau ternyata Kak Danva adalah kakak rohis yang sempat menggetarkan hatiku. Gara-gara tugas MC, mau tidak mau aku selalu bertemu dengannya. Sedikit tersimpan kekaguman dengan sosok adam ini. Seorang pemimpin yang tak melupakan agamanya. Aku kira semua ketua OSIS bakal memilih ekskul yang dianggap keren tapi bersifat duniawi seperti band, atau basket maybe. Tapi, itu tidak berlaku bagi Kak Danva. Subhanallah, sungguh ini dosa terindah yang sulit untuk kuhapus dari memoriku.
      Sebuah gedung berwarna hijau segar menyambut mata empatku. Tegak, kokoh, dan mulai padat dengan beberapa alas kaki di teras keramik putihnya. Sepatu hitam sportyku segera mendarat tersusun rapi mengikuti jalur indahnya. Perlahan kaki mulai melangkah menuju sebuah pintu dengan dua buah lengan. Sesaat, ada sebuah senyum terlihat dari jarak tak terlalu jauh. Dan, bahunya dan bahuku menyatu diiringi sapaan khas yang sudah mulai akrab dengan kedua pipiku. Cipika-cipiki. Sebuah salam yang sering dilakukan anak-anak rohis sesama jenis. Akan jadi fatal jika kejadiannya berbalik layaknya pemandangan yang sering ku lihat di taman setiap sore menuju rumahku. Perempuan dan laki-laki menyatu dan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan sekarang dengan Mbak Sarah, seniorku di ekskul Rohis.
      Tapi, aku tak melihat sahabatku di tempat itu. Memang seminggu terakhir ini aku jarang bertemu dengannya selain di ruangan kelas. Aku cukup senang dengan perubahan sifatnya sekarang. Perlahan, Iffah sudah mudah akrab dengan makhluk yang bernama cowok. At least, Iffah gak pernah kabur lagi ketika disapa oleh Ferdy dan kawan-kawan. Adaptasi yang diajarkan dari Rismi sepertinya sukses. Mungkin juga dia termotivasi dengan gelar yang disandangnya sekarang. Putri Sekolah. Bersikap seramah mungkin adalah kewajibannya setelah mendapatkan amanah itu. Tapi aku merasa ada yang hilang dari Iffah. Entahlah.
Setelah berbasa-basi dengan Mbak Sarah, aku langsung meletakkan tas sandangku di lantai mushola. Aku melihat lagi sang penggetar hati. Ah, cepat kubuang jauh-jauh senyum kagumku. Takut fitnah. Badanku kuputar hingga 90o menuju tempat wudhu.  14.20 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kajian dimulai. Tapi, mataku terus mencari Iffah, apa dia tak datang lagi seperti minggu lalu. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku. Sebuah mushaf pink tergeletak di atas tasku. Mirip punya seseorang, tapi aduh penyakitku kumat lagi. Aku lupa punya siapa mushaf itu. Mushaf itu bukan punyaku tapi mengapa ada di atas tasku. Lebih baik kuletakkan di tempat penyusunan Al-Qur’an di lemari dekat tempat Imam shalat pikirku. Aku tak ragu menuju shaf lelaki karena Kak Danva tidak duduk di tempat duduknya sewaktu aku datang tadi. Ada sebuah jendela di sebelah tempat Imam shalat yang berhadapan dengan bagian belakang tempat wudhu.
      Mataku menangkap sesuatu yang menggetarkan hati. Bukan, ini bukan getar hatiku yang mengagumi atas keteduhan wajah Kak Danva atau senyum Iffah. Lebih dari itu, hatiku rasanya mulai berkecamuk dan memaki telah membiarkan mataku mencuri pandang dari balik jendela. Ini benar-benar dosa bagiku. Tapi, tidak lagi dosa terindah. Aku menyaksikan dua orang anak manusia sedang bercanda gurau dengan tangan yang mulai jahil menyentuh tubuh satu sama lain. Entah sengaja atau tidak disengaja. Aku tak peduli. Mereka panutanku, penggetar hatiku, awal keistiqomahanku. Sangat mendendam telah mengagungkan mereka selama ini. Cepat kupalingkan wajahku menjauhi perih ini. Sesal tak ada bendung dalam dadaku.

Sabtu, 17 Juli 2006
Aku kecewa dengan kalian, Iffah dan Danva. Sosok yang kusaluti atas keistiqomahan dalam beragama. Ya Allah, aku menyayangi mereka karena-Mu. Maaf atas segala lancangnya hati membawa nama-Mu mencintai mereka yang mengecewakanku. Hatiku menangis tertahan. Bukan cemburu atas Kak Danva yang dekat dengan Iffah. Demi Allah bukan karena itu. Aku lebih sakit atas pengkhiatan sikap yang selama ini tercipta. Teduhnya wajah, sucinya pandangan, dan bersihnya hati dari cinta semu tak kulihat lagi dari kedua sosok itu. Saat ini, ku coret mereka dalam list penggetar jiwaku. Cukup berteman dan tidak akan lagi mengagungkan mereka.
     
      Kututup diary sewaktu awal masuk SMA dulu. Ada senyum malu diujung bibirku setelah membacakannya dihadapan dua orang di hadapanku. Mereka hanya tersenyum dan salah satu dari mereka memeluk erat dan mengeluarkan tawanya. Sementara satu orang melihatku dengan senyuman lalu menunduk lagi.
“Makasih atas cintamu, Ukhti” Tangis Iffah perlahan melepas dekapannya.
“Iya, maaf juga sudah su’uzzon dengan kalian berdua waktu itu.” Ujarku sambil mengurai air mata yang sudah terlanjur mengalir di pipi.
      Iffah dan Danva kembali lagi ke kehidupanku. Bahkan dua kakak-beradik ini lebih akrab denganku. Yah, Mereka melakukan kejadian itu karena mereka muhrim. Bukan seperti yang kukira sebelumnya. Sebuah kejadian lucu dan memalukan untuk diriku sendiri. Aku terlalu sensitif dan emosian. Memang, Iffah menyembunyikan ini dariku dan teman-teman yang lain. Sekali lagi ini gara-gara sifat pemalunya. Aku masih malu atas sikapku waktu itu. Terlebih dengan Danva. Aku telah menzhaliminya dengan menjauhinya tanpa ada penjelasan tentang sikapku. Tapi, sepertinya hatinya begitu tegar menanti penjelasanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui tentang rahasia indah ini. Rahasia tentang puisi kekaguman dari Kak Danva yang diselipkan di Al-Qur’an pink milik Iffah yang sengaja diletakkan di atas tasku, tapi sayangnya aku tak sempat membacanya setelah menghindar sejauh mungkin dari mereka berdua. Rasa kagumku dibalas lebih indah oleh Kak Danva, tapi aku sendiri yang menghalanginya masuk ke tempat terindah setiap insan. Kini, senja langit kalbuku telah berganti dengan sebuah mentari indah. Iffah, calon adik iparku.



0 comments on "SENJA LANGIT KALBU"

Post a Comment




Iffah, begitulah yang kudengar dari percakapan beberapa siswa sewaktu istirahat MOS di SMA Nusantara. Tempat baruku meneruskan jenjang pendidikan setelah puas tiga tahun mengenakan seragam putih-biru. Namanya memang seindah akhlaknya. Sejak pertama aku menatap kedua mata indahnya rasanya mataku berkata iri dengan lekuk mata hitam bukti sujudnya. Sabtu cerah yang penuh hikmah menurutku. Jalan cinta-Nya membimbingku mengenal sosok panutan muslimah masa kini. Dia tak malu menutupkan dadanya dengan seuntai kain terjulur sampai menuju batas perut atasnya. Kutaksir begitulah kira-kira jilbab yang mestinya kupakai saat ini. Tapi, entahlah nafsu duniawiku belum sezuhud kandidat putri sekolah itu.
Jangan pernah menganggap aku lesbian atau penyuka sesama jenis. Sungguh aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku akan keshalehan teman baruku ini. Sekali kali kuucap namanya dalam percakapanku bersama Mama di siang itu.
“Namanya Iffah, kayaknya dia bakal jadi inceran teman-teman satu sekolah deh Ma! Matanya, senyumnya, dan keshalehannya itu loh yang buat Kia iri sebagai sesama muslimah.” Bibirku terus mengeluarkan sejuta pujian sambil berdiri memandang langit yang terlihat mendung siang itu.
“Iffah? Nama yang bermakna bagus, Sayang.” Jawab Mama memandang kekosongan mataku yang tak fokus dengan cuaca hari ini.
“Iya yah Ma? Emang apa arti Iffah Ma?” Tanganku menggapai secangkir teh hangat dari Mama.
“Iffah itu artinya orang yang selalu berbuat kebaikan. Tapi Adzkia Annisa Putri Arifin lebih anggun tuh.” Mama menghiburku lalu bergegas mematikan api kompor di dapur.
“Mama, selalu aja gitu. Iya deh Kia harus selalu bersyukur dengan apa yang sudah dikasih sama Allah. Nggak bakal lupa deh nasehatnya Mama.” Kupasang wajah sedikit cemberut tanda manjaku sambil menyeruput tehku.
Pinterrrr yah anak Mama!” Mama mencubit pipiku yang sering dijuluki teman-temanku Bakpau.
Ihh Mama!!!”

Begitulah keakrabanku dengan Ibunda tercinta. Banyak teman-teman yang heran kalau lagi ke rumah mendapatiku sedang bercanda dengan Mama. Seperti bersahabat. Itulah ibuku yang selalu berusaha memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, orang tua, bahkan pacar. Wajar saja kalau aku tak pernah enggan curhat apapun dengan Mama. Bahkan masalah teman lelaki yang biasanya isin -malu dalam bahasa jawa- untuk diceritakan bagi sebagian remaja.
Tapi hukum itu tidak berlaku dalam kehidupanku. Mama adalah psikolog keluarga yang paling mantap menurutku, walaupun beliau tidak pernah mendapatkan gelar sarjana psikologi dari universitas manapun. Aku sama sekali tidak risih curhat tentang aksi nekad Rafa, vokalis band sekolah yang digandrungi cewek-cewek satu sekolah saat menyanyikan lagu Flanella Bila Engkau di depan kelas dengan setangkai bunga Lili kesukaanku sehari sebelum perpisahan SMP, dan apa reaksinya?
Mama malah ketawa-ketawa sambil ngeledek kalau anaknya udah memasuki zona terindah dalam kehidupan remaja. Dicinta dan mencintai makhluk Allah yang fitrah bagi manusia. Walaupun, Mama tetap menyiratkan bahwa tak ada pacaran dalam islam. Kalau suka it’s okey, tapi pacaran no way Kia!

      Senin yang cukup sejuk menuju sekolah. Tas ranselku sudah tergeletak di sebelah kanan dekat pintu Avanza Mama. Mataku terus mencerna beberapa kata yang tertulis di seberang lensa kacamataku. Sementara jemari terus menekan tuts-tuts benda berukuran 7 x 3 cm itu. Warnanya yang cukup pekat dan berdesain garis-garis banyak menimbulkan persepsi kalo kamus kecil itu Al-Qur’an. Bukan. Benda itu adalah sebuah kamus saku elektronik yang diberikan Papa bulan kemarin karena kelulusanku yang cukup membanggakan.
      Pukul 06.40 WIB. Seperti biasa, itulah jadwalku tiba di sekolah. Maklum saja sekolah baruku menetapkan 06.50 WIB sebagai batas akhir pagar setinggi 2 meteran itu ditutup. Dan kalau sampai terlambat, ada ‘gift’ khusus dari guru piket. Aku menangkap satu pemandangan itu lagi. Lagi-lagi Iffah. Ah, ingin sekali aku menghampirinya dan bersahabat dengan akhwat yang satu ini.
      Sebuah pohon rindang sepertinya merindukan tawa dan canda manusia. Utamanya remaja yang biasanya tersenyum bangga bercerita dengan temannya tentang jumlah sms dan incoming call yang masuk tadi malam dilayar hp mereka. Atau mungkin sekedar bercerita tentang sosok Ketua Rohis yang baru saja melewati koridor sekolah. Jilbabku menjuntai lemas hingga ke bawah dada. Ini awal keistiqomahanku menuju takwa. Baru saja ingin mendaratkan tubuhku di bangku yang diletakkan dibawah rindangnya beringin sekolah, bel berbunyi empat kali. Tandanya kumpul ke lapangan utama.

      Sekejap, aku sudah menempati sebuah kursi stainless stell dengan papan kayu dibagian depan sejurus dengan meja guru yang ditata di tengah-tengah ruangan kelas. Sebuah kursi di sebelah kananku masih kosong. Mungkin itu tempat bagi siswa yang terakhir masuk karena hanya ada satu kursi yang tersisa.
Mataku mulai melirik kanan-kiri  mencoba mencari seseorang yang mungkin saja ku kenal. Bermodal senyum dan dua lesung pipi yang menjadi kebanggaan tersendiri bagiku aku mulai beramah-tamah dengan sebagian anak-anak lain. Seusai mengenalkan diri dengan beberapa teman aku kembali menuju kursiku lagi. Jam tangan Adidas biruku sudah menunjukkan pukul 06.55 WIB. Lima menit lagi akan ada guru yang memasuki ruangan dan bertindak sebagai wali kelas kami seperti yang diberitahukan dalam apel tadi.

      Terdengar sebuah ketokan pintu dari sudut kiri ruangan. Semua anak-anak sibuk mengatur diri menuju tempat duduknya masing-masing. Semua berpikir seorang guru yang memasuki kelas awal pagi itu. Tapi, ternyata bukan wali kelas yang mengetok pintu. Sosok itu lagi. Subhanallah, aku sekelas dengan Nur Iffah Aathifah. Yah, itulah yang kutangkap dari bed nama yang tertempel disudut kanan atas seragamnya. Sebagian teman-teman yang terlahir dengan riwayat adam seakan enggan menutup bibirnya untuk membalas salam dari Iffah.
‘Wa’alaikumsalam’ menyebar di seluruh ruangan dengan posisi mata tak berkedip dan mulut menganga. Andai saja ada seekor serangga seperti nyamuk atau lalat berkeliaran, mungkin mereka akan longgar sekali masuk ke rongga mulut para lelaki itu. Suasana yang lucu. Kahlil and the gank menawarkan kursi mereka untuk ditempati oleh Iffah. Tapi Iffah lebih tertarik melihat kursi kosong di sebelah kananku. Good job. Dia akan duduk disebelahku. Awal yang baik untuk mengenalkan diri pikirku.
“Kia, kamuuuu??” Kusodorkan tangan kananku dan mataku sengaja kubuat seperti mencari bed namanya.
“Iffah, Nice to meet you! Mudah-mudahan kita bisa jadi teman!” Jawabnya sambil menampakkan bed namanya dan dihiasi senyum.
Nice to meet you too. Insya’ Allah!” Bisikku lalu membuang muka menuju Pak Fadlan, wali kelas kami yang baru saja datang.

Seminggu  menjadi teman Iffah cukup menyenangkan. Dia sangat pemalu. Apalagi dengan kaum adam. Dia selalu kabur dan wajahnya memerah jika ada anak cowok di sekolah yang menggodanya atau sekedar menyapanya dengan kata “Assalamu’alaikum cantik!”. Aku yakin kalau saja Rasti, temanku yang cukup centil berada di posisi Iffah, dia bakalan kelepek-kelepek dan meladeni ucapan manis para lelaki. Rasa malu Iffah memang menjadi daya tarik baginya. Lugu dan bikin penasaran, itulah yang terlontar dari mulut Ferdy saat senyumnya ditinggal pergi oleh sang putri sekolah.
Idaman. Itulah sosok Iffah akhir-akhir ini. Dan aku yakin pasti banyak atensi tertuju kepadanya saat acara ulang tahun sekolah bulan depan. Tapi, apa yang terjadi dengan jantungku sekarang. Detaknya mulai merangkak menuju jarak terjauh dengan jarak tempuh yang tak tentu. Mataku yang semula menatap sebuah keindahan mulai kutundukkan dan kupalingkan wajahku dari sosok itu. Duh Gusti, jagalah hatiku. Ingin kulangkahkan kakiku sejauh mungkin dari tempat ini, tapi berat sekali rasanya. Terlambat. Tiba-tiba.
“Maaf, kamu anak X 2?” Tanya seorang berpostur tinggi dengan beberapa lembaran kertas di tangannya.
“I..yy...a K..aa..k.” Aku harus sedikit mendongak untuk menatap wajahnya sebagai bentuk kesopananku menjawab pertanyaannya.
“Titip ini yah. Brosur dari Rohis, kalau ada waktu silahkan gabung.” Tangan kanannya menjulurkan sekitar lima lembaran brosur berwarna biru itu.
Syukran Kak.” Aku mencoba menyesuaikan diri dengan statusnya sebagai anak Rohis.
Afwan.” Jawabnya singkat dan menghilang.
      Aduh, penyakit lamaku kumat lagi. Aku lupa menanyakan namanya. Ada sedikit kekesalan dalam hati, tapi untuk apa juga aku tahu namanya. Biar kamu bisa kenalan dan berbagi rasa fitrah dengannya, jawab setan di sebelah kiriku. Tidak Kia! ingat dia Adam! belum saatnya, jawab malaikat disebelah kananku. Forget it. Terserah dosa atau fitrah, aku sedikit menyimpan rekaman senyum simpulnya ketika berbalik arah meninggalkan pertemuan kami di depan kelasku tadi. Ada satu senyum unforgettable lagi selain milik Iffah. Astaghfirullah, batinku lalu bergegas menyebarkan brosur yang baru kudapatkan tadi.

      Sepertinya waktu cepat sekali beranjak, tiga hari lagi acara ulang tahun sekolah akan digelar. Kebetulan aku mendapat tugas yang cukup membuatku gugup. Kak Danva, Ketua OSIS SMA Nusantara menawariku untuk menjadi Master of Ceremonial acara hiburan. Aku bangga sekali, apalagi sewaktu aku tahu kalau ternyata Kak Danva adalah kakak rohis yang sempat menggetarkan hatiku. Gara-gara tugas MC, mau tidak mau aku selalu bertemu dengannya. Sedikit tersimpan kekaguman dengan sosok adam ini. Seorang pemimpin yang tak melupakan agamanya. Aku kira semua ketua OSIS bakal memilih ekskul yang dianggap keren tapi bersifat duniawi seperti band, atau basket maybe. Tapi, itu tidak berlaku bagi Kak Danva. Subhanallah, sungguh ini dosa terindah yang sulit untuk kuhapus dari memoriku.
      Sebuah gedung berwarna hijau segar menyambut mata empatku. Tegak, kokoh, dan mulai padat dengan beberapa alas kaki di teras keramik putihnya. Sepatu hitam sportyku segera mendarat tersusun rapi mengikuti jalur indahnya. Perlahan kaki mulai melangkah menuju sebuah pintu dengan dua buah lengan. Sesaat, ada sebuah senyum terlihat dari jarak tak terlalu jauh. Dan, bahunya dan bahuku menyatu diiringi sapaan khas yang sudah mulai akrab dengan kedua pipiku. Cipika-cipiki. Sebuah salam yang sering dilakukan anak-anak rohis sesama jenis. Akan jadi fatal jika kejadiannya berbalik layaknya pemandangan yang sering ku lihat di taman setiap sore menuju rumahku. Perempuan dan laki-laki menyatu dan melakukan hal yang sama seperti yang kulakukan sekarang dengan Mbak Sarah, seniorku di ekskul Rohis.
      Tapi, aku tak melihat sahabatku di tempat itu. Memang seminggu terakhir ini aku jarang bertemu dengannya selain di ruangan kelas. Aku cukup senang dengan perubahan sifatnya sekarang. Perlahan, Iffah sudah mudah akrab dengan makhluk yang bernama cowok. At least, Iffah gak pernah kabur lagi ketika disapa oleh Ferdy dan kawan-kawan. Adaptasi yang diajarkan dari Rismi sepertinya sukses. Mungkin juga dia termotivasi dengan gelar yang disandangnya sekarang. Putri Sekolah. Bersikap seramah mungkin adalah kewajibannya setelah mendapatkan amanah itu. Tapi aku merasa ada yang hilang dari Iffah. Entahlah.
Setelah berbasa-basi dengan Mbak Sarah, aku langsung meletakkan tas sandangku di lantai mushola. Aku melihat lagi sang penggetar hati. Ah, cepat kubuang jauh-jauh senyum kagumku. Takut fitnah. Badanku kuputar hingga 90o menuju tempat wudhu.  14.20 WIB. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum kajian dimulai. Tapi, mataku terus mencari Iffah, apa dia tak datang lagi seperti minggu lalu. Ada sedikit kekhawatiran dalam hatiku. Sebuah mushaf pink tergeletak di atas tasku. Mirip punya seseorang, tapi aduh penyakitku kumat lagi. Aku lupa punya siapa mushaf itu. Mushaf itu bukan punyaku tapi mengapa ada di atas tasku. Lebih baik kuletakkan di tempat penyusunan Al-Qur’an di lemari dekat tempat Imam shalat pikirku. Aku tak ragu menuju shaf lelaki karena Kak Danva tidak duduk di tempat duduknya sewaktu aku datang tadi. Ada sebuah jendela di sebelah tempat Imam shalat yang berhadapan dengan bagian belakang tempat wudhu.
      Mataku menangkap sesuatu yang menggetarkan hati. Bukan, ini bukan getar hatiku yang mengagumi atas keteduhan wajah Kak Danva atau senyum Iffah. Lebih dari itu, hatiku rasanya mulai berkecamuk dan memaki telah membiarkan mataku mencuri pandang dari balik jendela. Ini benar-benar dosa bagiku. Tapi, tidak lagi dosa terindah. Aku menyaksikan dua orang anak manusia sedang bercanda gurau dengan tangan yang mulai jahil menyentuh tubuh satu sama lain. Entah sengaja atau tidak disengaja. Aku tak peduli. Mereka panutanku, penggetar hatiku, awal keistiqomahanku. Sangat mendendam telah mengagungkan mereka selama ini. Cepat kupalingkan wajahku menjauhi perih ini. Sesal tak ada bendung dalam dadaku.

Sabtu, 17 Juli 2006
Aku kecewa dengan kalian, Iffah dan Danva. Sosok yang kusaluti atas keistiqomahan dalam beragama. Ya Allah, aku menyayangi mereka karena-Mu. Maaf atas segala lancangnya hati membawa nama-Mu mencintai mereka yang mengecewakanku. Hatiku menangis tertahan. Bukan cemburu atas Kak Danva yang dekat dengan Iffah. Demi Allah bukan karena itu. Aku lebih sakit atas pengkhiatan sikap yang selama ini tercipta. Teduhnya wajah, sucinya pandangan, dan bersihnya hati dari cinta semu tak kulihat lagi dari kedua sosok itu. Saat ini, ku coret mereka dalam list penggetar jiwaku. Cukup berteman dan tidak akan lagi mengagungkan mereka.
     
      Kututup diary sewaktu awal masuk SMA dulu. Ada senyum malu diujung bibirku setelah membacakannya dihadapan dua orang di hadapanku. Mereka hanya tersenyum dan salah satu dari mereka memeluk erat dan mengeluarkan tawanya. Sementara satu orang melihatku dengan senyuman lalu menunduk lagi.
“Makasih atas cintamu, Ukhti” Tangis Iffah perlahan melepas dekapannya.
“Iya, maaf juga sudah su’uzzon dengan kalian berdua waktu itu.” Ujarku sambil mengurai air mata yang sudah terlanjur mengalir di pipi.
      Iffah dan Danva kembali lagi ke kehidupanku. Bahkan dua kakak-beradik ini lebih akrab denganku. Yah, Mereka melakukan kejadian itu karena mereka muhrim. Bukan seperti yang kukira sebelumnya. Sebuah kejadian lucu dan memalukan untuk diriku sendiri. Aku terlalu sensitif dan emosian. Memang, Iffah menyembunyikan ini dariku dan teman-teman yang lain. Sekali lagi ini gara-gara sifat pemalunya. Aku masih malu atas sikapku waktu itu. Terlebih dengan Danva. Aku telah menzhaliminya dengan menjauhinya tanpa ada penjelasan tentang sikapku. Tapi, sepertinya hatinya begitu tegar menanti penjelasanku.
Sampai suatu hari aku mengetahui tentang rahasia indah ini. Rahasia tentang puisi kekaguman dari Kak Danva yang diselipkan di Al-Qur’an pink milik Iffah yang sengaja diletakkan di atas tasku, tapi sayangnya aku tak sempat membacanya setelah menghindar sejauh mungkin dari mereka berdua. Rasa kagumku dibalas lebih indah oleh Kak Danva, tapi aku sendiri yang menghalanginya masuk ke tempat terindah setiap insan. Kini, senja langit kalbuku telah berganti dengan sebuah mentari indah. Iffah, calon adik iparku.



0 comments:

Post a Comment

 

Gerimis itu... Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal