Friday, March 23, 2012

JANJI AYAH

Posted by gadisgerimis.blogspot.com at 11:03 PM


Uhuk...uhuk...uhuk...
            Ringtone Abi yang sensitif ini akan berdering jika ada asap-asap hitam berkeliaran di sekitar hidungnya. Sebenarnya, gadis lincah itu tidak mempunyai alergi terhadap batang-batang yang dihisap oleh beberapa orang –yang menurutnya-  egois disampingnya. Lebih kepada protes dan aksi pencanangan “No Tobacco” saja. Ya, saja disini sangat berarti maknanya bagi Abi. Dulu, sekarang dan yang akan datang Abi tetap keukeuh dengan anti tembakaunya itu. Tak jarang, gadis yang dikenal pendiam ini akan berubah 360 derajat sikapnya dan berani menegur orang yang sering ‘merusak suasananya’ jika ringtone sok batuk yang dilancarkan nihil hasilnya.

Send All
Argh, tega banget sih nyakitin diri sendiri :@

Tuts-tuts di Sony Ericson W395 miliknya mulai menjelajahi nomor-nomor orang yang bisa diajak curhat. Jemarinya terus bermain membalas sms-sms yang masuk. Segala emotion yang tersedia Abi gunakan jika harus terjebak naik bus dengan resiko yang tiada terkira. Mulai dari asap-asap yang menyesakkan napas, musik triping yang memekakkan telinga, bau keringat, bahkan aksi pinjem tak kembali yang kadang bikin nangis tua alias kecopetan.
“Maaf Mas, saya alergi sama asap. Tolong dong rokoknya !” Pinta Abi sedikit kesal setelah aksi ringtonenya gagal.
“Aduh Mbak, kenapa gak naik Trans Musi aja kalo gak tahan rokok? Sayang Mbak, baru gini.” Jawab lelaki berkaos yang mulai pudar itu tanpa ambil pusing dengan protesan Abi.
Geram sekali Abi mendengarnya. Andai saja perutnya tidak sedang sakit siang itu mungkin dia akan berdebat dengan lelaki gondrong itu.
“Ya sudah, saya mau tutup hidung kalo gitu. Maaf yah! ! !” Abi langsung menarik ujung bagian kanan jilbab parisnya menuju arah hidung.
Menyesal. Abi yang terbiasa pulang dengan Bis khusus tanpa asap rokok, siang ini dia menumpang bis demi cepat-cepat sampai ke rumah. Sakit perut bulanannya sangat menyiksa sehingga Abi memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Tempat lesnya yang cukup jauh dari terminal KM 12 menambah uncomportablenya selama di perjalanan.
***
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Abi langsung menuju kamar.
            “Wa’alaikumsalam! Kok, cepat Bi? Tumben?” Tanya Mama keheranan.
            “Sakit Ma, PMS!” Teriaknya sambil meraih obat yang pernah diberikan Kak Dara, kakaknya yang masih Coass.
            “Oh, pantesan. Makan dulu, terus istirahat!” Perintah Mama sambil terus mengaduk adonan pempek untuk snack sore nanti.
            “Yuhuu...”
***
            Udang Saus Tiram, Cah Kangkung, Sambal Teri Medan terhidang rapi di meja makan malam. Seperti biasanya, Mama, Ayah, dan Abi langsung menuju tempat mengisi perut sekaligus mengisi hati. Abi yang hanya dua bersaudara memang sering kesepian jika Kak Dara harus jaga di Rumah Sakit dalam masa magangnya untuk mendapat gelar dr itu. Makan malam adalah momentum yang paling istimewa untuk keluarga ini karena inilah forum komunikasi di keluarga mereka. Walaupun, ada adat dari salah satu daerah yang menyimbolkan dining room as a silent room tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kebiasaan di rumah bernuansa ungu tersebut.
            “Gimana bimbelnya Bi? Kira-kira nyampe gak target kamu?” Ayah memulai percakapan malam itu.
            “Bimbelnya sih asik Yah, tapi Abi masih ngarep yang jalur dari sekolah. Solo. Solo. Hhehe” Sepertinya obat dari Kak Dara cukup ampuh mengembalikan senyum Abi.
            “Yang seriuslah Bi, Ayah sama Mama berharap kamu bisa dikasih yang terbaik.” Ayah menanggapi diplomatis sikap anak bungsunya itu.
            “Kok Solo? Kamu daftar disana?” Mama memasang wajah yang cukup menyeramkan.
            Mama adalah satu-satu orang di rumah yang tidak demokratis masalah jarak. No way banget kalo anaknya mau pergi jauh dengan alasan jangka waktu yang lama. Especially jarak antar pulau.
            “Ih Mama, sensi amat sih. Do’ain aja atuh. Ada kejutan yang menanti.” Goda Abi dan matanya langsung melotot melihat pemandangan yang sangat dibencinya.
            Lagi-lagi, sehabis makan malam ayah tak pernah absen dari rutinitas kejamnya. Merokok. Abi berubah menjadi sangat cerewet jika sedang melihat Ayah menghisap batang-batang racun itu. Dia menjadi pengomel yang paling bising dibanding Kak Dara yang sangat miris dengan pendidikannya saat ini. Dokter muda. Tetapi, Ayah sudah terlalu kecanduan. Sewaktu Abi masih kecil dulu ayah sempat terlepas sementara dari batang tembakau, lalu come back pada kebiasaan yang sangat dibenci ketiga perempuan dirumah itu.
***
            Lelap sekali tidur Abi semalam. Seusai shalat subuh dan menonton sedikit tausiah di sebuah stasiun televisi, Abi langsung menyiapkan segala persiapan lesnya hari ini. Ada sebuah tulisan mengusik mata tertera di kalender Hello Kitty yang tergantung di dinding kamar serba birunya. Matanya sedikit menyipit seakan memikirkan sesuatu yang tertulis di keterangan tanggal yang dibentuk hati itu. 9 Juni 2011. Berarti, dua hari lagi. Sejenak Abi berkomat-kamit sendiri dan menjentikkan jarinya. Sepertinya, akan ada yang istimewa hari itu.
            Abi menutup pintu kamarnya dan beranjak menuju ruang makan dan langsung menyeruput susu coklat kesukaannya. Ritual pagi dimulai, sarapan, pamitan, cipika-cipika Mama dan Ayah, Sujud tangan, mendengarkan nasihat take care khas ortu, dan say Asssalammu’alaikum. Namun, sebelum kaki kanan Abi melangkah keluar pintu, Mama tiba-tiba berkata.
            “Kamu TO yah Bi? Jangan salah pilih jurusan!”
“Iya Ma. Tenang aja...” Omongan Abi langsung disahut Mama.
“Psikologi tetap nomor wahid. Hahaha :D” Lanjut keduanya berbarengan.
“Dasar bandel!” Teriak Mama.
***
            Widih, soal SNMPTN memang sungguh luar biasa. Sampai-sampai Abi tak bisa berkata-kata. Selama kurang lebih empat jam yang melelahkan, mata Abi memerah membaca teori-teori dan sedikit angka-angka. Untunglah, ketemu angka yang keriting keriwil hanya di matematika dasar. Tetap saja. Abi mengaku kalah. Tiba-tiba dia teringat lagi dengan nasib SNMPTN Undangan yang hampir terlupakan selama satu bulan ini. Pengumumannya malam sebelum tanda hati di kalender Hello Kitty. Pikirannya mulai bercabang lagi. Sempat serabut dengan groginya menuju SNMPTN Tertulis, sekarang mulai tunggang dengan SNMPTN Undangan yang diharap tapi tak diharap. Loh ? kok kayak belajar Biologi :D. Gak nyambung banget anak IPS gini.
            Sesampai dirumah.
            16.17.  Arloji Digital Guess kado ulang tahun dari Om Arko menunjukkan waktu yang cukup telat menuju rumah. Jalanan betah memasang warna merah pada benda tiga warna bertiang hitam hampir disetiap persimpangan dan perbelokan.
***
            Abi sengaja tak membuka satu sms pun yang menumpuk di inboxnya hari ini. Isinya bisa ditebak. Pasti pertanyaaan, “Kamu lulus gak, Bi ?”. Dia benar-benar ngeri, deg-degan dibanding menunggu pengumuman kelulusan SMA. Dasar cewek aneh. Bukan apa-apa, Mama sama sekali tak setuju jika niat utama Abi menuju Solo terwujud. Sekali lagi karena alasan jarak. Bukan Abi namanya jika tak memberi kejutan untuk orang disekitarnya.
            Setelah shalat maghrib dan makan malam, ada yang aneh malam ini. Abi tak melihat Ayah dan asap-asap menyebalkan lagi. Asbak pun kosong. Tak tersisa sedikit puntung rokok pun. Awal yang bagus. Tapi, Abi berharap ini bukannya karena Ayah belum waktunya merokok dan sedang tidak ada dirumah. Lebih dari itu. Please! L
            “Ma, malem ini pengumuman SNMPTN udah bisa dilihat loh!”
            “Isya’an dulu, tuh baru aja adzan. Abis itu kamu liat pengumuman. Jangan berpikir pendek, masih banyak jalan selain jalur itu.” Mama memang tak terlalu antusias karena jarak itu.
            “Iya deh Ma.”
*Selesai shalat
            Laptop di turn on, speedy siap siaga, binder dan pena menemani dan mulailah Abi menjelajah dunia maya malam itu. Sepuluh jari lentiknya mulai menginput alamat website, pin dan semua yang tertera di laman web itu. Terakhir, ba’da basmalah ditekannya tombol penentuan itu sambil memejamkan mata. Lima belas detik berlalu, dibukanya pelan-pelan kedua mata sipitnya. Diejanya setiap huruf di page itu. Diulanginya sampai tiga kali. Sunnah rasul. Lalu dicetak dua lembar saat itu juga.
            “Gimana Bi?” Tanya Mama.
            “Ayah mana, Ma?” Abi bertanya balik.
            “Jemput Kak Dara, katanya besok ada hari special. Mama juga gak ngerti.”
            “Mana hasilnya?” Tambah Mama.
            “Yah Mama, besok kan tanggal 9 Juni. Ayah ulang tahun.”
“Pantes dia bilang hari special. Ya Allah Mama lupa Bi. Aduh!” Mama menyesal.
“Ya udah, barengan aja liatnya sama Ayah dan Kak Dara. Maaf yah Ma kalau gak sesuai harapan.” Abi tak mengaku kalau dia sudah mencetak hasil pengumumannya yang tampak mengecewakan.
“Emang belum kamu liat? Lagian apapun hasilnya, Mama kan udah bilang masih banyak jalan lain.” Mama langsung memeluk anak gadisnya itu.
“Besok aja Ma.”
***
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam!”
            “Lah, kamu gak bimbel Bi?” Kak Dara keheranan melihat adiknya asoy-geboy tanpa ada tanda-tanda ingin pergi. Abi malah memeluk Ayah yang berada dibelakangnya dengan membawa secarik kertas.
            “Gimana sih Kak, hari ini kan Ayah ulang tahun. Jadi, Abi gak mau telat ngucapinnya. Met milad Ayah! Mmmmmmuacchhh” Ciuman khas itu mendarat lembut di dahi Ayah.
            “Yeh, kakak juga udah ngucapin kok. Duluan malah.” Dara ikut nimbrung memberikan ciuman dahi kepada Ayah.
            “Selamat ulang tahun Suamiku!” Kali ini Ayah yang beranjak menghampiri Mama dan memeluknya.
            “Makasih semuanya!....” Belum sempat Ayah melanjutkan kata-katanya, Abi langsung berbicara.
            “Ini kado special dari Abi.” Abi menyodorkan secarik kertas kejutan.
            Ayah membinar membaca hasil pengumuman semalam.
            “Alhamdulillah. Jadi diam-diam kamu milih Unsri juga? Dasar anak bandel.”
            Mama dan Kak Dara menemukan pandangan mata mereka yang keheranan.
            “Iya dong, Mama, Kak Dara ini hasil pengumuman semalam. Maaf Abi bohong sama Mama semalam. Tenang aja Ma, Abi diterima di Fakultas Hukum Unsri kok.  Bukan Solo!”
            Mama langsung menangis terharu. Kak Dara pun terlihat senang dengan cara pelukan mendadaknya kepada Abi. Pertanyaan menggelitik diutarakan Kak Dara.
            “Amira Sabrina si pendiam ini pengen masuk FH?” Candanya mencubit hidung Abi.
            “Iya, why not. Nanti, kalo Abi jadi penegak hukum Abi bakal nyusun hukum baru tentang merokok. Biar Ayah tercinta ini gak perlu repot-repot meracuni diri lagi.” Abi masih saja sinis dengan smoking Ayahnya itu.
            “Tenang Bi, Ayah udah tekad kok. Insya’ Allah 51 ini Ayah gak akan merokok lagi. Udah janji kok. Ampun deh Bu Jaksa!”
            Binar bahagia tercipta pagi itu. Ayah memasuki usia satu tahun setelah setengah abad dengan nikmat yang tiada terkira. Abi diterima di Universitas yang dikehendaki Mama. Dara tinggal menunggu hari saja untuk mendapat gelar dokternya. Membahagiakan lagi, Abi tak perlu bersusah-payah memperjuangkan niatnya membuat aturan tentang rokok karena orang yang dicintainya saat ini sudah mengalah untuk kemenangan sejati.

Binar matamu kala itu
Tak pernah kulupa sampai memori nanti melupa
Denyut hatimu kala itu
Tak pernah alpa sampai rasa nanti mengalpa
Langkah kakimu kala itu
Tak pernah lelah sampai jalan nanti mengaku kalah
Tetaplah berdiri didepanku
Aku masih ingin teduhmu
Tetaplah mengarung bahteramu
Aku masih ingin jadi dermagamu
Tetaplah mengayuh penamu
Aku masih ingin puisimu
Menantilah senyum-senyum dalam usiamu
Selalu banggamu menjadi citaku

                  
  
           

0 comments on "JANJI AYAH"

Post a Comment



Uhuk...uhuk...uhuk...
            Ringtone Abi yang sensitif ini akan berdering jika ada asap-asap hitam berkeliaran di sekitar hidungnya. Sebenarnya, gadis lincah itu tidak mempunyai alergi terhadap batang-batang yang dihisap oleh beberapa orang –yang menurutnya-  egois disampingnya. Lebih kepada protes dan aksi pencanangan “No Tobacco” saja. Ya, saja disini sangat berarti maknanya bagi Abi. Dulu, sekarang dan yang akan datang Abi tetap keukeuh dengan anti tembakaunya itu. Tak jarang, gadis yang dikenal pendiam ini akan berubah 360 derajat sikapnya dan berani menegur orang yang sering ‘merusak suasananya’ jika ringtone sok batuk yang dilancarkan nihil hasilnya.

Send All
Argh, tega banget sih nyakitin diri sendiri :@

Tuts-tuts di Sony Ericson W395 miliknya mulai menjelajahi nomor-nomor orang yang bisa diajak curhat. Jemarinya terus bermain membalas sms-sms yang masuk. Segala emotion yang tersedia Abi gunakan jika harus terjebak naik bus dengan resiko yang tiada terkira. Mulai dari asap-asap yang menyesakkan napas, musik triping yang memekakkan telinga, bau keringat, bahkan aksi pinjem tak kembali yang kadang bikin nangis tua alias kecopetan.
“Maaf Mas, saya alergi sama asap. Tolong dong rokoknya !” Pinta Abi sedikit kesal setelah aksi ringtonenya gagal.
“Aduh Mbak, kenapa gak naik Trans Musi aja kalo gak tahan rokok? Sayang Mbak, baru gini.” Jawab lelaki berkaos yang mulai pudar itu tanpa ambil pusing dengan protesan Abi.
Geram sekali Abi mendengarnya. Andai saja perutnya tidak sedang sakit siang itu mungkin dia akan berdebat dengan lelaki gondrong itu.
“Ya sudah, saya mau tutup hidung kalo gitu. Maaf yah! ! !” Abi langsung menarik ujung bagian kanan jilbab parisnya menuju arah hidung.
Menyesal. Abi yang terbiasa pulang dengan Bis khusus tanpa asap rokok, siang ini dia menumpang bis demi cepat-cepat sampai ke rumah. Sakit perut bulanannya sangat menyiksa sehingga Abi memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Tempat lesnya yang cukup jauh dari terminal KM 12 menambah uncomportablenya selama di perjalanan.
***
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Abi langsung menuju kamar.
            “Wa’alaikumsalam! Kok, cepat Bi? Tumben?” Tanya Mama keheranan.
            “Sakit Ma, PMS!” Teriaknya sambil meraih obat yang pernah diberikan Kak Dara, kakaknya yang masih Coass.
            “Oh, pantesan. Makan dulu, terus istirahat!” Perintah Mama sambil terus mengaduk adonan pempek untuk snack sore nanti.
            “Yuhuu...”
***
            Udang Saus Tiram, Cah Kangkung, Sambal Teri Medan terhidang rapi di meja makan malam. Seperti biasanya, Mama, Ayah, dan Abi langsung menuju tempat mengisi perut sekaligus mengisi hati. Abi yang hanya dua bersaudara memang sering kesepian jika Kak Dara harus jaga di Rumah Sakit dalam masa magangnya untuk mendapat gelar dr itu. Makan malam adalah momentum yang paling istimewa untuk keluarga ini karena inilah forum komunikasi di keluarga mereka. Walaupun, ada adat dari salah satu daerah yang menyimbolkan dining room as a silent room tetapi hal itu berbanding terbalik dengan kebiasaan di rumah bernuansa ungu tersebut.
            “Gimana bimbelnya Bi? Kira-kira nyampe gak target kamu?” Ayah memulai percakapan malam itu.
            “Bimbelnya sih asik Yah, tapi Abi masih ngarep yang jalur dari sekolah. Solo. Solo. Hhehe” Sepertinya obat dari Kak Dara cukup ampuh mengembalikan senyum Abi.
            “Yang seriuslah Bi, Ayah sama Mama berharap kamu bisa dikasih yang terbaik.” Ayah menanggapi diplomatis sikap anak bungsunya itu.
            “Kok Solo? Kamu daftar disana?” Mama memasang wajah yang cukup menyeramkan.
            Mama adalah satu-satu orang di rumah yang tidak demokratis masalah jarak. No way banget kalo anaknya mau pergi jauh dengan alasan jangka waktu yang lama. Especially jarak antar pulau.
            “Ih Mama, sensi amat sih. Do’ain aja atuh. Ada kejutan yang menanti.” Goda Abi dan matanya langsung melotot melihat pemandangan yang sangat dibencinya.
            Lagi-lagi, sehabis makan malam ayah tak pernah absen dari rutinitas kejamnya. Merokok. Abi berubah menjadi sangat cerewet jika sedang melihat Ayah menghisap batang-batang racun itu. Dia menjadi pengomel yang paling bising dibanding Kak Dara yang sangat miris dengan pendidikannya saat ini. Dokter muda. Tetapi, Ayah sudah terlalu kecanduan. Sewaktu Abi masih kecil dulu ayah sempat terlepas sementara dari batang tembakau, lalu come back pada kebiasaan yang sangat dibenci ketiga perempuan dirumah itu.
***
            Lelap sekali tidur Abi semalam. Seusai shalat subuh dan menonton sedikit tausiah di sebuah stasiun televisi, Abi langsung menyiapkan segala persiapan lesnya hari ini. Ada sebuah tulisan mengusik mata tertera di kalender Hello Kitty yang tergantung di dinding kamar serba birunya. Matanya sedikit menyipit seakan memikirkan sesuatu yang tertulis di keterangan tanggal yang dibentuk hati itu. 9 Juni 2011. Berarti, dua hari lagi. Sejenak Abi berkomat-kamit sendiri dan menjentikkan jarinya. Sepertinya, akan ada yang istimewa hari itu.
            Abi menutup pintu kamarnya dan beranjak menuju ruang makan dan langsung menyeruput susu coklat kesukaannya. Ritual pagi dimulai, sarapan, pamitan, cipika-cipika Mama dan Ayah, Sujud tangan, mendengarkan nasihat take care khas ortu, dan say Asssalammu’alaikum. Namun, sebelum kaki kanan Abi melangkah keluar pintu, Mama tiba-tiba berkata.
            “Kamu TO yah Bi? Jangan salah pilih jurusan!”
“Iya Ma. Tenang aja...” Omongan Abi langsung disahut Mama.
“Psikologi tetap nomor wahid. Hahaha :D” Lanjut keduanya berbarengan.
“Dasar bandel!” Teriak Mama.
***
            Widih, soal SNMPTN memang sungguh luar biasa. Sampai-sampai Abi tak bisa berkata-kata. Selama kurang lebih empat jam yang melelahkan, mata Abi memerah membaca teori-teori dan sedikit angka-angka. Untunglah, ketemu angka yang keriting keriwil hanya di matematika dasar. Tetap saja. Abi mengaku kalah. Tiba-tiba dia teringat lagi dengan nasib SNMPTN Undangan yang hampir terlupakan selama satu bulan ini. Pengumumannya malam sebelum tanda hati di kalender Hello Kitty. Pikirannya mulai bercabang lagi. Sempat serabut dengan groginya menuju SNMPTN Tertulis, sekarang mulai tunggang dengan SNMPTN Undangan yang diharap tapi tak diharap. Loh ? kok kayak belajar Biologi :D. Gak nyambung banget anak IPS gini.
            Sesampai dirumah.
            16.17.  Arloji Digital Guess kado ulang tahun dari Om Arko menunjukkan waktu yang cukup telat menuju rumah. Jalanan betah memasang warna merah pada benda tiga warna bertiang hitam hampir disetiap persimpangan dan perbelokan.
***
            Abi sengaja tak membuka satu sms pun yang menumpuk di inboxnya hari ini. Isinya bisa ditebak. Pasti pertanyaaan, “Kamu lulus gak, Bi ?”. Dia benar-benar ngeri, deg-degan dibanding menunggu pengumuman kelulusan SMA. Dasar cewek aneh. Bukan apa-apa, Mama sama sekali tak setuju jika niat utama Abi menuju Solo terwujud. Sekali lagi karena alasan jarak. Bukan Abi namanya jika tak memberi kejutan untuk orang disekitarnya.
            Setelah shalat maghrib dan makan malam, ada yang aneh malam ini. Abi tak melihat Ayah dan asap-asap menyebalkan lagi. Asbak pun kosong. Tak tersisa sedikit puntung rokok pun. Awal yang bagus. Tapi, Abi berharap ini bukannya karena Ayah belum waktunya merokok dan sedang tidak ada dirumah. Lebih dari itu. Please! L
            “Ma, malem ini pengumuman SNMPTN udah bisa dilihat loh!”
            “Isya’an dulu, tuh baru aja adzan. Abis itu kamu liat pengumuman. Jangan berpikir pendek, masih banyak jalan selain jalur itu.” Mama memang tak terlalu antusias karena jarak itu.
            “Iya deh Ma.”
*Selesai shalat
            Laptop di turn on, speedy siap siaga, binder dan pena menemani dan mulailah Abi menjelajah dunia maya malam itu. Sepuluh jari lentiknya mulai menginput alamat website, pin dan semua yang tertera di laman web itu. Terakhir, ba’da basmalah ditekannya tombol penentuan itu sambil memejamkan mata. Lima belas detik berlalu, dibukanya pelan-pelan kedua mata sipitnya. Diejanya setiap huruf di page itu. Diulanginya sampai tiga kali. Sunnah rasul. Lalu dicetak dua lembar saat itu juga.
            “Gimana Bi?” Tanya Mama.
            “Ayah mana, Ma?” Abi bertanya balik.
            “Jemput Kak Dara, katanya besok ada hari special. Mama juga gak ngerti.”
            “Mana hasilnya?” Tambah Mama.
            “Yah Mama, besok kan tanggal 9 Juni. Ayah ulang tahun.”
“Pantes dia bilang hari special. Ya Allah Mama lupa Bi. Aduh!” Mama menyesal.
“Ya udah, barengan aja liatnya sama Ayah dan Kak Dara. Maaf yah Ma kalau gak sesuai harapan.” Abi tak mengaku kalau dia sudah mencetak hasil pengumumannya yang tampak mengecewakan.
“Emang belum kamu liat? Lagian apapun hasilnya, Mama kan udah bilang masih banyak jalan lain.” Mama langsung memeluk anak gadisnya itu.
“Besok aja Ma.”
***
            “Assalamu’alaikum!”
            “Wa’alaikumsalam!”
            “Lah, kamu gak bimbel Bi?” Kak Dara keheranan melihat adiknya asoy-geboy tanpa ada tanda-tanda ingin pergi. Abi malah memeluk Ayah yang berada dibelakangnya dengan membawa secarik kertas.
            “Gimana sih Kak, hari ini kan Ayah ulang tahun. Jadi, Abi gak mau telat ngucapinnya. Met milad Ayah! Mmmmmmuacchhh” Ciuman khas itu mendarat lembut di dahi Ayah.
            “Yeh, kakak juga udah ngucapin kok. Duluan malah.” Dara ikut nimbrung memberikan ciuman dahi kepada Ayah.
            “Selamat ulang tahun Suamiku!” Kali ini Ayah yang beranjak menghampiri Mama dan memeluknya.
            “Makasih semuanya!....” Belum sempat Ayah melanjutkan kata-katanya, Abi langsung berbicara.
            “Ini kado special dari Abi.” Abi menyodorkan secarik kertas kejutan.
            Ayah membinar membaca hasil pengumuman semalam.
            “Alhamdulillah. Jadi diam-diam kamu milih Unsri juga? Dasar anak bandel.”
            Mama dan Kak Dara menemukan pandangan mata mereka yang keheranan.
            “Iya dong, Mama, Kak Dara ini hasil pengumuman semalam. Maaf Abi bohong sama Mama semalam. Tenang aja Ma, Abi diterima di Fakultas Hukum Unsri kok.  Bukan Solo!”
            Mama langsung menangis terharu. Kak Dara pun terlihat senang dengan cara pelukan mendadaknya kepada Abi. Pertanyaan menggelitik diutarakan Kak Dara.
            “Amira Sabrina si pendiam ini pengen masuk FH?” Candanya mencubit hidung Abi.
            “Iya, why not. Nanti, kalo Abi jadi penegak hukum Abi bakal nyusun hukum baru tentang merokok. Biar Ayah tercinta ini gak perlu repot-repot meracuni diri lagi.” Abi masih saja sinis dengan smoking Ayahnya itu.
            “Tenang Bi, Ayah udah tekad kok. Insya’ Allah 51 ini Ayah gak akan merokok lagi. Udah janji kok. Ampun deh Bu Jaksa!”
            Binar bahagia tercipta pagi itu. Ayah memasuki usia satu tahun setelah setengah abad dengan nikmat yang tiada terkira. Abi diterima di Universitas yang dikehendaki Mama. Dara tinggal menunggu hari saja untuk mendapat gelar dokternya. Membahagiakan lagi, Abi tak perlu bersusah-payah memperjuangkan niatnya membuat aturan tentang rokok karena orang yang dicintainya saat ini sudah mengalah untuk kemenangan sejati.

Binar matamu kala itu
Tak pernah kulupa sampai memori nanti melupa
Denyut hatimu kala itu
Tak pernah alpa sampai rasa nanti mengalpa
Langkah kakimu kala itu
Tak pernah lelah sampai jalan nanti mengaku kalah
Tetaplah berdiri didepanku
Aku masih ingin teduhmu
Tetaplah mengarung bahteramu
Aku masih ingin jadi dermagamu
Tetaplah mengayuh penamu
Aku masih ingin puisimu
Menantilah senyum-senyum dalam usiamu
Selalu banggamu menjadi citaku

                  
  
           

0 comments:

Post a Comment

 

Gerimis itu... Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal