Uhuk...uhuk...uhuk...
Ringtone Abi yang sensitif ini akan
berdering jika ada asap-asap hitam berkeliaran di sekitar hidungnya.
Sebenarnya, gadis lincah itu tidak mempunyai alergi terhadap batang-batang yang
dihisap oleh beberapa orang –yang menurutnya-
egois disampingnya. Lebih kepada protes dan aksi pencanangan “No
Tobacco” saja. Ya, saja disini sangat berarti maknanya bagi Abi. Dulu, sekarang
dan yang akan datang Abi tetap keukeuh dengan anti tembakaunya itu. Tak
jarang, gadis yang dikenal pendiam ini akan berubah 360 derajat sikapnya dan berani
menegur orang yang sering ‘merusak suasananya’ jika ringtone sok batuk yang
dilancarkan nihil hasilnya.
Send
All
Argh, tega
banget sih nyakitin diri sendiri :@
Tuts-tuts
di Sony Ericson W395 miliknya mulai menjelajahi nomor-nomor orang yang bisa
diajak curhat. Jemarinya terus bermain membalas sms-sms yang masuk. Segala
emotion yang tersedia Abi gunakan jika harus terjebak naik bus dengan resiko
yang tiada terkira. Mulai dari asap-asap yang menyesakkan napas, musik triping
yang memekakkan telinga, bau keringat, bahkan aksi pinjem tak kembali yang
kadang bikin nangis tua alias kecopetan.
“Maaf
Mas, saya alergi sama asap. Tolong dong rokoknya !” Pinta Abi sedikit kesal
setelah aksi ringtonenya gagal.
“Aduh
Mbak, kenapa gak naik Trans Musi aja kalo gak tahan rokok? Sayang Mbak, baru
gini.” Jawab lelaki berkaos yang mulai pudar itu tanpa ambil pusing dengan
protesan Abi.
Geram
sekali Abi mendengarnya. Andai saja perutnya tidak sedang sakit siang itu
mungkin dia akan berdebat dengan lelaki gondrong itu.
“Ya
sudah, saya mau tutup hidung kalo gitu. Maaf yah! ! !” Abi langsung menarik
ujung bagian kanan jilbab parisnya menuju arah hidung.
Menyesal.
Abi yang terbiasa pulang dengan Bis khusus tanpa asap rokok, siang ini dia
menumpang bis demi cepat-cepat sampai ke rumah. Sakit perut bulanannya sangat
menyiksa sehingga Abi memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Tempat
lesnya yang cukup jauh dari terminal KM 12 menambah uncomportablenya selama di
perjalanan.
***
“Assalamu’alaikum!” Sapa Abi
langsung menuju kamar.
“Wa’alaikumsalam! Kok, cepat Bi?
Tumben?” Tanya Mama keheranan.
“Sakit Ma, PMS!” Teriaknya sambil
meraih obat yang pernah diberikan Kak Dara, kakaknya yang masih Coass.
“Oh, pantesan. Makan dulu, terus
istirahat!” Perintah Mama sambil terus mengaduk adonan pempek untuk snack sore
nanti.
“Yuhuu...”
***
Udang Saus Tiram, Cah Kangkung,
Sambal Teri Medan terhidang rapi di meja makan malam. Seperti biasanya, Mama,
Ayah, dan Abi langsung menuju tempat mengisi perut sekaligus mengisi hati. Abi
yang hanya dua bersaudara memang sering kesepian jika Kak Dara harus jaga di
Rumah Sakit dalam masa magangnya untuk mendapat gelar dr itu. Makan malam
adalah momentum yang paling istimewa untuk keluarga ini karena inilah forum
komunikasi di keluarga mereka. Walaupun, ada adat dari salah satu daerah yang
menyimbolkan dining room as a silent room tetapi hal itu berbanding terbalik
dengan kebiasaan di rumah bernuansa ungu tersebut.
“Gimana bimbelnya Bi? Kira-kira
nyampe gak target kamu?” Ayah memulai percakapan malam itu.
“Bimbelnya sih asik Yah, tapi Abi
masih ngarep yang jalur dari sekolah. Solo. Solo. Hhehe” Sepertinya obat dari
Kak Dara cukup ampuh mengembalikan senyum Abi.
“Yang seriuslah Bi, Ayah sama Mama
berharap kamu bisa dikasih yang terbaik.” Ayah menanggapi diplomatis sikap anak
bungsunya itu.
“Kok Solo? Kamu daftar disana?” Mama
memasang wajah yang cukup menyeramkan.
Mama adalah satu-satu orang di rumah
yang tidak demokratis masalah jarak. No way banget kalo anaknya mau pergi jauh
dengan alasan jangka waktu yang lama. Especially jarak antar pulau.
“Ih Mama, sensi amat sih. Do’ain aja
atuh. Ada kejutan yang menanti.” Goda Abi dan matanya langsung melotot melihat
pemandangan yang sangat dibencinya.
Lagi-lagi, sehabis makan malam ayah
tak pernah absen dari rutinitas kejamnya. Merokok. Abi berubah menjadi sangat cerewet
jika sedang melihat Ayah menghisap batang-batang racun itu. Dia menjadi
pengomel yang paling bising dibanding Kak Dara yang sangat miris dengan
pendidikannya saat ini. Dokter muda. Tetapi, Ayah sudah terlalu kecanduan.
Sewaktu Abi masih kecil dulu ayah sempat terlepas sementara dari batang
tembakau, lalu come back pada kebiasaan yang sangat dibenci ketiga perempuan
dirumah itu.
***
Lelap sekali tidur Abi semalam.
Seusai shalat subuh dan menonton sedikit tausiah di sebuah stasiun televisi,
Abi langsung menyiapkan segala persiapan lesnya hari ini. Ada sebuah tulisan
mengusik mata tertera di kalender Hello Kitty yang tergantung di dinding kamar
serba birunya. Matanya sedikit menyipit seakan memikirkan sesuatu yang tertulis
di keterangan tanggal yang dibentuk hati itu. 9 Juni 2011. Berarti, dua hari
lagi. Sejenak Abi berkomat-kamit sendiri dan menjentikkan jarinya. Sepertinya,
akan ada yang istimewa hari itu.
Abi menutup pintu kamarnya dan
beranjak menuju ruang makan dan langsung menyeruput susu coklat kesukaannya.
Ritual pagi dimulai, sarapan, pamitan, cipika-cipika Mama dan Ayah, Sujud
tangan, mendengarkan nasihat take care khas ortu, dan say Asssalammu’alaikum.
Namun, sebelum kaki kanan Abi melangkah keluar pintu, Mama tiba-tiba berkata.
“Kamu TO yah Bi? Jangan salah pilih
jurusan!”
“Iya
Ma. Tenang aja...” Omongan Abi langsung disahut Mama.
“Psikologi
tetap nomor wahid. Hahaha :D” Lanjut keduanya berbarengan.
“Dasar
bandel!” Teriak Mama.
***
Widih, soal SNMPTN memang sungguh
luar biasa. Sampai-sampai Abi tak bisa berkata-kata. Selama kurang lebih empat
jam yang melelahkan, mata Abi memerah membaca teori-teori dan sedikit
angka-angka. Untunglah, ketemu angka yang keriting keriwil hanya di matematika
dasar. Tetap saja. Abi mengaku kalah. Tiba-tiba dia teringat lagi dengan nasib
SNMPTN Undangan yang hampir terlupakan selama satu bulan ini. Pengumumannya
malam sebelum tanda hati di kalender Hello Kitty. Pikirannya mulai bercabang
lagi. Sempat serabut dengan groginya menuju SNMPTN Tertulis, sekarang mulai
tunggang dengan SNMPTN Undangan yang diharap tapi tak diharap. Loh ? kok kayak
belajar Biologi :D. Gak nyambung banget anak IPS gini.
Sesampai dirumah.
16.17. Arloji Digital Guess kado ulang tahun dari Om
Arko menunjukkan waktu yang cukup telat menuju rumah. Jalanan betah memasang
warna merah pada benda tiga warna bertiang hitam hampir disetiap persimpangan
dan perbelokan.
***
Abi sengaja tak membuka satu sms pun
yang menumpuk di inboxnya hari ini. Isinya bisa ditebak. Pasti pertanyaaan,
“Kamu lulus gak, Bi ?”. Dia benar-benar ngeri, deg-degan dibanding menunggu
pengumuman kelulusan SMA. Dasar cewek aneh. Bukan apa-apa, Mama sama sekali tak
setuju jika niat utama Abi menuju Solo terwujud. Sekali lagi karena alasan
jarak. Bukan Abi namanya jika tak memberi kejutan untuk orang disekitarnya.
Setelah shalat maghrib dan makan
malam, ada yang aneh malam ini. Abi tak melihat Ayah dan asap-asap menyebalkan
lagi. Asbak pun kosong. Tak tersisa sedikit puntung rokok pun. Awal yang bagus.
Tapi, Abi berharap ini bukannya karena Ayah belum waktunya merokok dan sedang
tidak ada dirumah. Lebih dari itu. Please! L.
“Ma, malem ini pengumuman SNMPTN
udah bisa dilihat loh!”
“Isya’an dulu, tuh baru aja adzan.
Abis itu kamu liat pengumuman. Jangan berpikir pendek, masih banyak jalan
selain jalur itu.” Mama memang tak terlalu antusias karena jarak itu.
“Iya deh Ma.”
*Selesai shalat
Laptop di turn on, speedy siap
siaga, binder dan pena menemani dan mulailah Abi menjelajah dunia maya malam
itu. Sepuluh jari lentiknya mulai menginput alamat website, pin dan semua yang
tertera di laman web itu. Terakhir, ba’da basmalah ditekannya tombol penentuan
itu sambil memejamkan mata. Lima belas detik berlalu, dibukanya pelan-pelan
kedua mata sipitnya. Diejanya setiap huruf di page itu. Diulanginya sampai tiga
kali. Sunnah rasul. Lalu dicetak dua lembar saat itu juga.
“Gimana Bi?” Tanya Mama.
“Ayah mana, Ma?” Abi bertanya balik.
“Jemput Kak Dara, katanya besok ada
hari special. Mama juga gak ngerti.”
“Mana hasilnya?” Tambah Mama.
“Yah Mama, besok kan tanggal 9 Juni.
Ayah ulang tahun.”
“Pantes
dia bilang hari special. Ya Allah Mama lupa Bi. Aduh!” Mama menyesal.
“Ya
udah, barengan aja liatnya sama Ayah dan Kak Dara. Maaf yah Ma kalau gak sesuai
harapan.” Abi tak mengaku kalau dia sudah mencetak hasil pengumumannya yang
tampak mengecewakan.
“Emang
belum kamu liat? Lagian apapun hasilnya, Mama kan udah bilang masih banyak
jalan lain.” Mama langsung memeluk anak gadisnya itu.
“Besok
aja Ma.”
***
“Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!”
“Lah, kamu gak bimbel Bi?” Kak Dara
keheranan melihat adiknya asoy-geboy tanpa ada tanda-tanda ingin pergi. Abi
malah memeluk Ayah yang berada dibelakangnya dengan membawa secarik kertas.
“Gimana sih Kak, hari ini kan Ayah
ulang tahun. Jadi, Abi gak mau telat ngucapinnya. Met milad Ayah!
Mmmmmmuacchhh” Ciuman khas itu mendarat lembut di dahi Ayah.
“Yeh, kakak juga udah ngucapin kok.
Duluan malah.” Dara ikut nimbrung memberikan ciuman dahi kepada Ayah.
“Selamat ulang tahun Suamiku!” Kali
ini Ayah yang beranjak menghampiri Mama dan memeluknya.
“Makasih semuanya!....” Belum sempat
Ayah melanjutkan kata-katanya, Abi langsung berbicara.
“Ini kado special dari Abi.” Abi
menyodorkan secarik kertas kejutan.
Ayah membinar membaca hasil
pengumuman semalam.
“Alhamdulillah. Jadi diam-diam kamu
milih Unsri juga? Dasar anak bandel.”
Mama dan Kak Dara menemukan
pandangan mata mereka yang keheranan.
“Iya dong, Mama, Kak Dara ini hasil
pengumuman semalam. Maaf Abi bohong sama Mama semalam. Tenang aja Ma, Abi
diterima di Fakultas Hukum Unsri kok. Bukan
Solo!”
Mama langsung menangis terharu. Kak
Dara pun terlihat senang dengan cara pelukan mendadaknya kepada Abi. Pertanyaan
menggelitik diutarakan Kak Dara.
“Amira Sabrina si pendiam ini pengen
masuk FH?” Candanya mencubit hidung Abi.
“Iya, why not. Nanti, kalo Abi jadi
penegak hukum Abi bakal nyusun hukum baru tentang merokok. Biar Ayah tercinta
ini gak perlu repot-repot meracuni diri lagi.” Abi masih saja sinis dengan
smoking Ayahnya itu.
“Tenang Bi, Ayah udah tekad kok.
Insya’ Allah 51 ini Ayah gak akan merokok lagi. Udah janji kok. Ampun deh Bu
Jaksa!”
Binar bahagia tercipta pagi itu.
Ayah memasuki usia satu tahun setelah setengah abad dengan nikmat yang tiada
terkira. Abi diterima di Universitas yang dikehendaki Mama. Dara tinggal
menunggu hari saja untuk mendapat gelar dokternya. Membahagiakan lagi, Abi tak
perlu bersusah-payah memperjuangkan niatnya membuat aturan tentang rokok karena
orang yang dicintainya saat ini sudah mengalah untuk kemenangan sejati.
Binar matamu
kala itu
Tak pernah
kulupa sampai memori nanti melupa
Denyut hatimu
kala itu
Tak pernah alpa
sampai rasa nanti mengalpa
Langkah kakimu
kala itu
Tak pernah
lelah sampai jalan nanti mengaku kalah
Tetaplah
berdiri didepanku
Aku masih ingin
teduhmu
Tetaplah
mengarung bahteramu
Aku masih ingin
jadi dermagamu
Tetaplah
mengayuh penamu
Aku masih ingin
puisimu
Menantilah
senyum-senyum dalam usiamu
Selalu banggamu
menjadi citaku
0 comments on "JANJI AYAH"
Post a Comment